Rabu, 21 Januari 2009

PENGAMALAN HADITS

TA’AMUL (PENGAMALAN) HADITS
Oleh : Asep Setia, S.Ag

A. Pendahuluan
Hadits Mutawatir memberikan faedah “ Yaqin bi’l-Qath’i “ (sepositif-positifnya), bahwa Nabi Muhammad saw. Benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan ikrar (persetujuannya) dihadapan para shahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan kesepakatan untuk berdusta. Oleh karena sumber-sumbernya sudah meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu diperiksa dan diselidiki dengan mendalam identitas para rawi itu. Berlainan dengan hadits ahad , yang memberikan faedah “ dhanny “ (prasangka yang kuat akan kebenarannya, meng haruskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan yang seksama, mengenai identitas (kelakuan dan keadaan) para rawinya, disamping keharusan mengadakan penyelidikan mengenai segi-segi lain, agar hadits ahad tersebut dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak, bila ternyata terdapat cacat-cacat yang menyebabkan penolakan. Dari segi ini, hadits ahad terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : Hadits Shahih, Hadits Hasan dan Hadits Dla’if. 
B. Hadits Maqbul
Hadits maqbul, yakni Hadits: 
(1) Shahih Ii Dzatihi, 
(2) Shahih li Ghairihi, 
(3) Hasan Ii Dzatihi, 
(4) Hasan li Ghairihi, kesemuanya dapat diterima menjadi hujah dan pada dasarnya dapat diamalkan dan digunakan. Hadits maqbul yang dapat diamalkan disebut Hadits maqbul ma'mul bih.
Dalam pada itu, ada Hadits maqbul yang tidak dapat diamalkan, bukan karena kurang dalam kemaqbulannya. Namun karena beberapa sebab yang lain. Hadits demikian disebut Hadits maqbul ghairu ma rout bib.
C. Pembagian Hadits Maqbul
Dilihat dari segi pengamalannya Hadits maqbul terbagi pada:
a. Hadits Maqbul Ma'mul bih, yakni:
1) Hadits Muhkam, ialah Hadits yang dapat diamalkan secara pasti, sebab tidak ada syubhat sedikitpun, tidak ada pertentangan dengan Hadits lain yang mempengaruhi atau melawan artinya, jelas dan tegas lafazh dan maknanya.
2) Hadits Mukhtalif, yakni Hadits maqbul yang tanakud (berlawanan) yang dapat dikompromikan (jam'u). Hadits¬hadits yang saling berlawanan kalau bisa dikompromikan diamalkan kedua-duanya.
3) Hadits Rajih, yakni Hadits yang terkuat di antara dual buah Hadits maqbul yang berlawanan.
4) Hadits Nasikh, yakni Hadits yang datang lebih akhir yang menghapus ketentuan hukum yang datang lebih dahulu dari dua buah Hadits maqbul yang tanaqud.
b. Hadits Maqbul Ghair Ma'mul bih:
1) Hadits Mutasyabih, ialah Hadits yang sukar dipahami maksudnya karena tidak diketahui ta'wilnya. Hadits Mutasyabih harus diimankan adanya tapi tidak boleh diamalkan.
2) Hadits Marjuh, yakni Hadits maqbul yang ditenggang oleh Hadits maqbul yang lebih kuat.
3) Hadits Mansukh, yakni Hadits maqbul yang telah dihapuskan oleh Hadits maqbul yang datang kemudian.
4) Hadits Mutawwaqaf fih, yakni dua buah Hadits maqbul atau lebih yang saling berlawanan yang tidak dapat dikompromikan, dinasakh atau ditarjih. Kedua Hadits tersebut hendaknya dibekukan untuk sementara.

D. Cara Mengatasi Hadits Maqbul yang berlawanan 
Apabila ada dua Hadits itu maqbul nilainya, namun saling berlawanan lahirnya (mukhtalif) maka cara mengatasinya adalah: 
a. Menjama'kan (mengkompromikan) keduanya sampai hilang perlawanannya, kedua-duanya diamalkan.
b. Dicari Rajih-Marjuhnya (tarjih), Hadits yang rajih diamalkan dan yang marjuh ditinggalkan.
Ada tiga cara:
1) Dari segi sanad (i'tibar al-sanad);
a) Rawi yang banyak lebih kuat (rajih) daripada yang sedikit.
b) Rawi Shahabat Besar lebih kuat (rajih) daripada rawi Shahabat Kecil.
c) Rawi yang tsiqat lebih kuat (rajih) daripada rawi yang kurang tsiqat.
2) Dari segi Matan (i'tibat al-matan);
a) Hadits yang mempunyai arti hakikat merajihkan Hadits yang mempunyai arti majazi.
b) Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi merajihkan Hadits yang hanya mempunyai petunjuk maksud dari satu segi.
c) Matan Hadits qauli merajih yang fi'li.
3) Dari segi hasil penunjukan (madlul), madlul yang mutsbit (positif) merajihkan yang nafi (negatif).
c. Dicari nasikh-mansukh, yang nasikh diamalkan yang mansukh ditinggalkan.
Cara menasakh termaksud adalah sebagai benikut:
1) Penjelasan Syar'i sendiri (melalui pernyataan Nabi SAW).
2) Penjelasan dari Shahabat, mereka menyaksikan wurud¬nya Hadits.
3) Diketahui masa wurud-nya Hadits:
a) Terdapat kata-kata ibtida' atau awal. 
b) Terdapat kata-kata qabliyah. 
c) Terdapat kata-kata ba'diyah.
d) Terdapat kata-kata yang menunjukkan waktu; se¬bulan sebelum, sebulan sesudah, setahun sebelum, setahun sesudah dan lain-lain.
d. Ditawaqufkan bila tidak bisa dijama ; ditarjih, dan dinasakh.Haditsnya tidak diamalkan.

E. Nilai Hadits Dla’if 
Pada dasarnya nilai Hadits Dha'if adalah mardud, tertolak dan tidak dapat dijadikan hujah. Hadits Maudhu'sama sekali tidak bisa dijadikan hujah. Bahkan meriwayatkan Hadits Maudhu'tanpa menyebutkan kemaudhu'annya dilarang. Bila Hadits Dha'if mem¬punyai syahid atau muttabi ; nilainya naik menjadi Hasan li Gbairihi. Namun apabila bukan termasuk katagori Hadits Maudhu ; Matruk,dan Munkar. Pendapat para ulama tentang meriwayatkan (untuk berhujah) terhadap Hadits dha'if gharib (tidak ada syahid dan mut¬tabi ) dan tidak maudhu ; sebagai berikut:
1) Melarang secara mutlak meriwayatkan dan atau mempergunakan untuk berhujah dengan Hadits Dh'if, baik untuk menetapkan hukum maupun tentang keutamaan amal. (Pendapat Abu Bakar ibn al-'Arabi).
2) Membolehkan periwayatan dan penggunaan Hadits Dha'if untuk memberi dorongan, menerangkan keutamaan amal dan cerita, bukan untuk hukum Syari'at dan 'Akidah. (Pendapat Ahmad ibn Hanbal, 'Abd al-Rahman ibn Mahdi, `Abdullah ibn al-Mubarrak).
3) Ibn Hajar al-`Asqalani membolehkan berhujah dengan Hadits Dha-'if untuk fadhail al-amal, dengan syarat:
a) Hadits Dha'if itu tidak keterlaluan (bukan Maudhu ; Matruk dan Munkar).
b) Dasar amal yang ditunjuk oleh Hadits Dha'if tersebut di bawah suatu dasar yang dibenarkan oleh Hadits Shahihdan Hasan.
c) Dalam mengamalkannya tidak mengi'tikadkan bahwa Hadits tersebut benar-benar bersumber dari Nabi, tujuan mengamal-kannya hanya semata-mata untuk ihtiyath, ke¬hati-hatian saja.
4) Al-Nawawi berpendapat, bahwa bila hendak menukilkan Hadits Dha'if tanpa menyebutkan sanadnya, hendaknya jangan memakai sighat jazm (qala, fa'ala dan amara Kasulullah kadza wa kadza), tapi hendaknya dengan sighat tamrid (ruwiya `an, hukiya `an Kasulillah annahu qala, annahu dzakara). Sebab sighat jazm ini memberikan pengertian bahwa Rasul benar-benar bersabda, berbuat atau memerintahkan seperti apa yang diriwayatkan.
Apabila kita membaca dalam kitab Hadits terdapat suatu Hadits yang termasuk kategori Hadits Dha'if Mu'allaq, kita jangan buru-buru menghukumi sebagai Hadits Dha'if Mu allaq, sebab kemungkinan mudawwin telah menulis Hadits tersebut dalam sanad yang muttashil di tempat lain, maksudnya hanya untuk meringkas atau menghindari pengulangan sanad.

F. Kehujjahan Hadits Mursal
Tentang kehujahan Hadits Mursal di kalangan ulama ada beberapa pendapat:
1) Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah menerima Hadits Mursal sebagai hujah, beralasan oleh karena tabi'in dipandang sebagai rawi yang adil dan dianggap tidak mungkin mengadakan penipuan tentang pengguguran rawi shahabat.
2) Al-Syafi'i dan ulama jumhur memandang bahwa Hadits Mursal sebagai Hadits Dha'if, tidak dapat dibuat hujah, sebab rawi yang digugurkan tersebut belum jelas identitasnya. Al-Syafi'i mengecualikan:
a) Hadits Mursal dari Ibn Musayyab, sebab pada umumnya ia tidak meriwayatkan Hadits selain dari Abu Hurairah. 
b) Hadits Mursal yang dikuatkan oleh Hadits musnad dha'if maupun shahih.
c) Hadits Mursal yang dikuatkan oleh qiyas.
d) Hadits Mursal yang dikuatkan oleh Hadits Mursal yang lain.
3) Al-Syaukani menekankan bahwa Hadits Mursal tidak dapat dapat dibuat hujah secara mutlak, karena adanya keraguan dan tidak diketahui dengan jelas tentang keadaan rawinya, syarat untuk mengamalkan Hadits harus diketahui keadilannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar