Rabu, 21 Januari 2009

LOGIKA ARISTOTELES

LOGIKA ARISTOTELES
ditulis oleh : Asep Setia, S.Ag.
A. Pendahuluan 
Aristoteles (Bahasa Yunani: ‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 SM – 322 SM) adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander yang Agung. Ia menulis berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan. etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat1.
Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles bergabung menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia. Saat Alexander berkuasa di tahun 336 SM, ia kembali ke Athena. Dengan dukungan dan bantuan dari Alexander, ia kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi nama Lyceum, yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM. Di situ ia mengembangkan dan mengajarkan sistem filsafat yang konon bertolak belakang dengan sistem Plato2.
B. Kontribusi dan karya
Filsafat Aristoteles berkembang pada waktu ia memimpin Lyceum, yang mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang metafisika, fisika, etika, politik, kedokteran dan ilmu alam3. Aristoteles sangat berpengaruh terhadap perkembangan logika. Banyak orang yang menyebut dia sebagai penemu, pelopor atau Bapak Logika. 
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles 
2 Bernard Defgraauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Tiara Wacana, 1992. Alih bahasa Sarjono Soemargono, Cet. I hlm. 29
3 Harun Adiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Kanisius, 1980. hlm. 45
 

Aristoteles seorang filosof dan ilmuwan yang mempelopori penyelidikan logika, memperkaya tiap cabang falsafah dan memberi sumbangan-sumbangan yang besar manfaatnya terhadap ilmu pengetahuan. Aristoteles adalah tokoh yang mengenalkan logika sebagai sebuah ilmu (yang kemudian disebut logica scientica). Ini adalah keistimewaan pertama yang teragung dari Aristoteles, yaitu bahwa hampir tanpa para pendahulu dan hampir seluruhnya dengan upaya pikirnya sendiri, ia menciptakan suatu ilmu baru, yaitu “logika”.
Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya ini menggambarkan kecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap hukum alam dan keseimbangan pada alam. Plato menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, sedangkan Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Selanjutnya ia menyatakan bahwa bentuk materi yang sempurna, murni atau bentuk akhir, adalah apa yang dinyatakannya sebagai theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan.
Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarki.
Karena luasnya lingkup karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis, dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat beragam sekali seperti fisika, astronomi, biologi, psikologi, metafisika (misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan puisi.
C. Pengaruh Pemikiran Aristoteles
Meskipun sebagian besar ilmu pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal yang masuk akal (common-sense explanation), banyak teori-teorinya yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Hal ini terjadi karena teori-teori tersebut karena dianggap masuk akal dan sesuai dengan pemikiran masyarakat pada umumnya, meskipun kemudian ternyata bahwa teori-teori tersebut salah total karena didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru.Misalnya teori Evolusi yang dianut oleh Charles Darwin, yang telah terbantahkan berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dapat dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas di abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (1135 – 1204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (1126 – 1198). Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak saja dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, atau "the master of those who know", sebagaimana yang kemudian dikatakan oleh Dante Alighieri4.
D. Konsep Realisme Aristoteles
Aristoteles mendasarkan sistemnya pada suatu metafisika yang sedikit-banyak menempatkan idealisme Plato di benaknya dengan berpendapat bahwa yang pada hakikatnya nyata itu partikula, bukan universa. Ia menyangkutpautkan partikula dengan suatu istilah khusus, “ousia”, yang bermakna “realitas”, walau biasanya istilah ini diterjemahkan menjadi “substansi”. Karena itu, pertanyaan dasar dalam “filsafat pertama” (maksudnya metafisika)-nya adalah “Apakah substansi itu?”. Ia menjawab pertanyaan ini dengan mendefinisikan substansi sebagai benda yang eksis secara individual. “Benda” semacam itu bukan sekadar forma atau pun sebongkah bahan. Benda ini pasti justru selalu menggabungkan bahan dan forma dengan sendirinya. Substansi itu menggabungkan forma dan bahan sedemikian rupa sehingga bahan ini memenuhi fungsi niscaya, alih-alih sekadar atribut atau ilusi. 
4 http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles 


Karena bahan substansi itu memberi “tanda pembeda”, yang “secara kalkulatif tinggal satu dan [masih] sama, [substansi] itu mampu menerima karakter yang bertentangan” melalui perubahan bahan. Umpamanya, kapur tulis yang dipegang masih akan merupakan contoh substansi “kapur tulis” walaupun berubah karakter dari kapur tulis putih menjadi kapur tulis merah. Inilah cara pandang khas terhadap hakikat realitas, yang disebut “realisme”.
Aristoteles mengembangkan lebih lanjut realismenya dengan memperbedakan antara substansi “primer” dan substansi “sekunder”. “Substansi primer ... adalah entitas yang mendasari segala benda lainnya”, sedangkan substansi sekunder adalah karakterisrik yang dapat “dipredikatkan” terhadap benda individual itu, khususnya jika karakteristik ini merupakan bagian dari definisi [yang menjawab] “what is it?”. Sesungguhnya substansi sekunder mestinya terbatas pada “genus” dan “spesies” benda individual. Sebagai misal, saya selaku manusia individu ialah substansi primer. Karena itu, fakta bahwa saya ialah manusia (spesies) dan hewan (genus) merupakan substansi sekunder, yang memberikan jenis substansi saya. Namun dalam pengertian yang lebih luas, segala benda yang “dipredikatkan [dari substansi primer] atau terdapat di dalamnya” bisa dianggap sebagai substansi sekunder. Jadi, substansi primer biasanya tampil di subyek kalimat, sedangkan substansi sekunder biasanya tampil di predikat-nya.
Artistoteles mengembangkan teorinya tentang substansi pada permulaan bukunya, Categories, yang mendefinisikan “kategori” sebagai “jenis benda yang paling umum”. Kata “forma” itu sendiri dapat dianggap sebagai makna “jenis seumum itu”, sehingga kategori merupakan forma yang sangat disamaratakan. Dalam Categories, Aristoteles menyusun daftar sepuluh jenis forma yang paling umum, yang pertama adalah substansi itu sendiri (yaitu jenis forma yang dijadikan nyata dengan ikut serta di dalam bahan). Sembilan lainnya merupakan karakteristik yang membantu kita memahami: seperti apakah substansi partikula itu. Di sini kita tidak perlu sampai merinci hakikat dan fungsi kategori-kategori tersebut. Cukup didaftar saja sembilan forma lain itu menurut urutan yang disajikan oleh Aristoteles: kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, tindakan, dan atribut (affection) Pembahasan Aristoteles tentang kategori-kategori ini banyak berkaitan dengan penggunaan istilah-istilah tersebut dalam bahasa kita (sehingga mengisyaratkan penekanan pada analisis linguistik dewasa ini). Namun demikian, ia pun jelas-jelas mengakui bahwa kategori-kategori tersebut menyediakan suatu cara pemahaman realitas itu sendiri (yaitu substansi) secara teratur dan sistematik.
Dalam menerapkan realismenya pada hal-hal partikula, Aristoteles menggunakan metode teleologis. Artinya, ia berpendapat bahwa forma benda sebaiknya terketahui melalui penyelidikan tentang maksud forma tersebut. Kata Yunani telos (“maksud”) juga mengacu pada akhir atau tujuan benda atau peristiwa. Mengapa ini ada? Untuk apa ini digunakan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bisa membantu kita menjelaskan mengapa sepotong bahan spesifik berforma tertentu (particular). Aristoteles memanfaatkan metode teleologisnya sebagai bagian terpadu dari tugas pengelompokan obyek-obyek alamiah dan obyek-obyek hasil pemikiran. Ini karena metode filosofisnya menaruh perhatian ganda pada klasifikasi logis (linguistik) dan observasi teleologis (empiris). Penekanan ganda ini berpengaruh besar terhadap orang-orang yang sejak itu mengikuti tradisi yang sering disebut tradisi “empirisis”.
Tentu saja, sains modern merupakan salah satu dari buah-buah tradisi empirisis. Jadi, tidaklah sampai mengejutkan bahwa ternyata banyak nama yang kita berikan kepada cabang-cabang sains yang berlainan, sebagaimana disiplin akademik lain, mula-mula ditetapkan dengan klasifikasi teleologis Aristoteles tersebut. Buku-bukunya banyak dicurahkan pada penamaan dan penyediaan landasan dasar bagi disiplin-disiplin seperti “psikologi”, “zoologi”, dan bahkan “metafisika” itu sendiri. Jadi, sebagai misal, ia mengatakan bahwa matematika itu mengenai penyebab formal, fisika mengenai penyebab material, dan teologi mengenai penyebab keilahian, sehingga ketiganya bisa dibedakan. 
Selain itu, ia menancapkan banyak pembedaan yang kini kita terima begitu saja, bukan hanya dalam filsafat (seperti esensi-eksistensi dan sebab-akibat), melainkan juga dalam ilmu empiris (seperti genus-spesies dan tanaman-hewan-manusia). Hal ini tentu saja membenarkan pandangan bahwa Aristoteles ialah “datuk” ilmu modern, walaupun metode teleologisnya sendiri kini dihujat oleh sebagian besar ilmuwan. (Sebagian besar, tidak semuanya. The Anthropic Cosmological Principle adalah salah satu contoh buku mutakhir yang signifikan yang ditulis oleh ilmuwan yang sungguh-sungguh menghargai metode teleologis.)
Untuk memperjelas perbedaan epistemologis antara realisme Aristoteles dan idealisme Plato dengan menggunakan sepotong kapur tulis sebagai contoh. Bagaimana kita tahu bahwa sepotong kapur tulis adalah kapur tulis? Apa yang membuatnya demikian? Plato akan mengatakan bahwa idea kapur tulis, “kekapurtulisan”-nya, merupakan realitas obyek ini. Itu karena seandainya kita hendak melakukan suatu pemberantasan di segenap penjuru dunia dengan menghancurkan semua partikula kapur tulis yang sekarang ada, kita tidak akan melakukan perubahan terhadap realitas “kekapurtulisan” sama sekali. Bahkan sekiranya kita secara sistematis menghapus semua referensi tertulis tentang kapur tulis di seluruh literatur dunia, dan menunggu kematian semua orang yang pernah melihat atau memakai kapur tulis, idea-nya masih akan senyata saat ini; ideanya masih akan merupakan forma yang keberadaannya abadi, menunggu untuk diingat kembali oleh beberapa generasi mendatang. Potongan zat yang kita sebut kapur tulis ini nyata hanya karena turut serta dalam idea nyata, idea kekapurtulisan.
Sebaliknya, Aristoteles akan mengatakan bahwa realitas substansi partikula ini yang saya pegang di tangan saya, yang dinamakan “kapur tulis”, bergantung bukan hanya pada keturutsertaannya dalam forma “kekapurtulisan”, melainkan juga pada kemampuan himpunan bahan untuk mengkonkretkan (yakni berfungsi sebagai contoh nyata) forma itu di dunia yang kita alami. Ini berarti bahan itu harus memenuhi maksud kapur tulis. Apa maksud kekapurtulisan dilimpahkan kepada sebongkah bahan? Untuk apa kapur tulis dipakai? Tentu saja, bila tampil di ruang kelas, sekurang-kurangnya, kapur tulis dipakai untuk menulis hal-hal di papan tulis. Jadi, jika saya jatuhkan sepotong kapur tulis ke lantai dan kemudian meremukkannya—seperti ini (jangan bilang-bilang saya melakukannya)—maka Aristoteles akan mengatakan bahwa saya telah menghancurkan substansinya, realitas kapur tulis. Dalam kasus ini bahan-nya masih ada, tetapi formanya tidak lagi eksis sebagai kapur tulis.
Jadi, baik bagi Plato maupun Aristoteles, forma benda merupakan faktor penting dalam penentuan realitasnya. Namun bagi Plato, forma saja sudah mencukupi; sedangkan bagi Artistoteles, kaitan-pasti dengan bahan juga diperlukan. Pandangan mereka bisa diringkas secara cukup sederhana sebagai berikut:
  Idealisme Plato Realisme Aristoteles
  ---------------- --------------------
  forma = realitas forma + bahan =
  bahan = ilusi substansi (realitas)
Bagaimana pandangan Aristoteles tentang hakikat manusia? Bagaimana sudut pandang metafisis barunya, realismenya, mempengaruhi cara pemahamannya terhadap realitas manusia? Ia sependapat dengan Plato bahwa jiwa (psyche) adalah forma raga. Secara demikian, fungsi utamanya diperikan dengan peristilahan “daya penyerap gizi (nutritive), daya penyelera (appetitive), daya pengindera (sensory), daya penggerak (locomotive), dan daya pemikir (rational)”. Raga itu sendiri kini diakui tidak hanya sebagai atribut atau ilusi, tetapi juga sebagai unsur penting substansi manusia; melalui raga, daya-daya ini diwujudkan. Bagi anda, pandangan ini mungkin terasa jauh lebih alamiah daripada pandangan idealis Plato; sekalipun demikian, beberapa konsekuensinya mungkin kurang dikehendaki. Ini karena jika raga merupakan unsur-niscaya dalam manusia, maka bila raga mati, mati pula realitas keberadaaan individu manusia. Jiwa tanpa raga tidak akan lebih nyata daripada idea kekapurtulisan belaka dan tidak akan lebih berguna daripada serpihan debu kapur tulis di lantai ini untuk menulis di papan tulis. Implikasi negatif realisme Aristoteles tersebut, bagi siapa saja yang memyakini kehidupan sesudah kematian, akhirnya mulai menyebabkan idealisme Plato tidak begitu buruk! (Suatu jalan lain di seputar masalah itu akan sampai pada keyakinan bahwa raga itu sendiri dihidupkan kembali entah bagaimana, walau dalam keadaan yang sedikit-banyak berubah, sesudah kita meninggal).
Aristoteles sendiri mungkin telah berupaya menambal-sulam konsekuensi realismenya yang pada potensinya tidak mengenakkan tatkala ia berpendapat bahwa jiwa manusia mempunyai maksud lain yang membuatnya berbeda dengan segala substansi duniawi lainnya. Jiwa tanaman disifati oleh daya penyerap gizi dan daya penyelera. Jiwa hewan memiliki sifat-sifat itu, tetapi ditembah dengan daya pengindera dan daya penggerak (yakni daya untuk bergerak). Jiwa manusia mempunyai semua tujuan atau maksud itu, yang menentukan jiwa tanaman dan hewan, tetapi melampaui itu semua melalui daya pemikir (nous). Dengan memandang bahwa Tuhan ialah yang rasional murni, Aristoteles berpikiran bahwa aspek sifat manusiawi ini menandakan “percikan ilahi” pada diri kita masing-masing. Secara demikian, ia memaparkan bahwa jiwa manusia merupakan [bagian] dari “hewan rasional”—suatu gagasan yang telah menjadi salah satu cara penentuan hakikat manusia yang paling luas penerimaannya. Dengan memperlakukan rasionalitas itu sendiri sebagai karakteristik jiwa ilahi, kita bisa memetakan pembedaan Aristoteles pada sebuah salib, seperti yang terlihat pada Gambar di bawah ini.
  kehidupan insani
  (spiritual, bergerak)
 
kehidupan fauna kehidupan flora
(non-spiritual, (non-spiritual,
  bergerak) tidak bergerak)
  kehidupan ilahi
  (spiritual, tidak bergerak)
Empat Forma Kehidupan (Jiwa) Ala Aristoteles
Pandangan tentang jiwa tersebut memberi jalan bagi Aristoteles yang membolehkan tipe kehidupan sesudah kematian. Dalam hal ini ia mengatakan, bila jiwa “terpasang bebas dari kondisinya sekarang ini” (yakni manakala raga manusia itu mati), inti rasionalitas yang tersisa itu “bersifat kekal dan tidak mati”. Itu menyiratkan bahwa “percikan” rasionalitas pada jiwa individu akhirnya akan kembali ke “api” Tuhan yang merupakan asalnya. Meskipun masih tidak membolehkan kehidupan sesudah kematian, setidak-tidaknya hal itu memberi tujuan universal untuk menciptakan dan melangsungkan kehidupan yang berharga. Jika maksud kehidupan adalah meluaskan dan mengembangkan rasionalitas hingga titik maksimalnya, maka tentu saja filsafat merupakan kejuruan paling bermakna yang bisa diburu oleh manusia. Dalam pandangan Aristoteles, bagian universal dan filosofis dari anda, dan bagian itu sendirian, akan menghidupkan kematian anda. 
Terdapat banyak segi-lain filsafat Aristoteles yang akan menarik bagi kita untuk dibahas di sini seandainya kita mempunyai waktu yang lebih banyak. Saya akan menyimpulkan dengan menyebutkan idenya saja bahwa semua pergerakan di dunia berasal dari “penggerak pertama” yang dengan sendirinya “tidak bergerak”. Yang-Berada ini juga merupakan “penyebab terakhir” (yakni tujuan puncak) semua pergerakan. Dengan kata lain, semua perubahan di dunia sekeliling kita bergerak menuju titik sandaran terakhir. Di titik ini semua perubahan itu kembali ke sumber mereka di penggerak yang tidak bergerak, seperti yang terlukis pada Gambar di bawah ini
  Titik Omega
  (Tuhan)
  penyebab penggerak
  terakhir pertama
 
 
  alam
  semesta
Penggerak Pertama selaku Penyebab Terakhir
Ide serupa juga dikembangkan secara cukup rinci oleh seorang paleontolog abad keduapuluh, pendeta Jesuit, dan filsuf mistis, Pierre Teilhard de Chardin (1881-1955), yang berpendapat bahwa keseluruhan kosmos bergerak menuju sasaran kesatuan-dalam-keragaman hakiki (ultimate unity-in-diversity), bernama “titik omega”—“omega” merupakan huruf terakhir abjad Yunai dan lambang tujuan abadi. Ini hanyalah salah satu contoh bagaimana para filsuf sepeninggalnya, khususnya sesudah munculnya agama Kristean, mengembangkan ide-ide Aristotelian menjadi catatan yang menarik tentang bagaimana alam semesta bisa terkait dengan Yang-Berada yang biasanya kita sebut Tuhan5.
E. Konsep Rasionalisme Aristoteles
Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal.Selain itu, tidak ada sumber kebenaran
yang hakiki.
Hal yang paling penting yang pernah dilakukan oleh Aristoteles adalah pendekatan rasional yang senantiasa melandasi karya-karyanya. Sikap Aristoteles tercermin dalam tulisan-tulisannya bahwa tiap segi kehidupan manusia atau masyarakat selalu terbuka untuk obyek pemikiran dan analisa. Salah satu pendapat Aristoteles adalah bahwa alam semesta tidaklah dikendalikan oleh hal yang serba kebetulan, oleh magi, oleh keinginan yang tidak terjajaki, kehendak dewa yang terduga, melainkan tingkah laku alam semesta itu tunduk pada hukum-hukum rasional. Kepercayaan ini menurut Aristoteles diperlukan bagi manusia untuk mempertanyakan tiap aspek dunia alamiah secara sistematis dan kita harus memanfaatkan baik pengamatan empiris dan alasan-alasan yang logis sebelum mengambil keputusan. Rangkaian sikap-sikap ini bertolak belakang dengan tradisi, tahyul dan mistik, dan ini secara mendalam telah mempengaruhi peradaban Eropa6. 
Penyelidikan Aristoteles tentang teori logika dipandang sebagai karya yang paling penting dari sekian banyak hasil karyanya. Dia dipandang sebagai pendiri cabang filosofi yang penting ini. 
5 http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/pf/PK03.htm
6 Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, PT. Dunia Pustaka Jaya,1982. Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, hlm.

Hal ini sebenarnya berkat sifat logis dari cara berpikir Aristoteles yang memungkinkannya mampu mempersembahkan begitu banyak bidang ilmu. Dia punya bakat mengatur cara berpikir, merumuskan kaidah-kaidah dan jenis-jenisnya yang kemudian menjadi dasar berpikir di banyak bidang ilmu pengetahuan. Aristoteles tidak pernah terpengaruh oleh hal-hal yang berbau mistik ataupun ekstrim. Aristoteles senantiasa bersiteguh mengutarakan pendapat-pendapat praktis. 
Pada masa Aristoteles, logika masih disebut dengan analitika, yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berawal dari sebuah proposisi yang benar. Selain itu, logika saat itu disebut juga dengan dialektika, yang secara khusus meneliti argumentasi yang berawal dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah Silogisme. 
Sesungguhnya, silogismelah yang merupakan penemuan Aristoteles yang murni dan yang terbesar dalam logika. Silogisme adalah suatu bentuk dari cara memperoleh konklusi yang ditarik dari proposisi demi meraih kebenaran, bukan semata-mata untuk menyusun argumentasi dalam suatu perdebatan, melainkan juga sebagai metode dasar bagi pengembangan semua bidang ilmu pengetahuan. Silogisme terdiri atas tiga proposisi. Dari ketiga proposisi itu, proposisi yang ketiga merupakan konklusi yang ditarik dari proposisi pertama dengan bantuan proposisi kedua. Proposisi ketiga disebut konklusi, sedangkan proposisi pertama dan proposisi kedua disebut premis. 
Silogisme Aristoteles dapat kita dipandang sebagai perkembangan dari silogisme lemah Plato, dengan pengertian bahwa prinsip silogisme Aristoteles telah digunakan secara umum dan sistematis. 
Aristoteles juga mengembangkan suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), dimana sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia juga menyadari pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking).  
Menurut Aristoteles, ada dua cara menarik kesimpulan untuk memperoleh pengetahuan baru. Cara yang pertama disebut apodiktik atau deduksi yaitu cara menarik konklusi berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan yang bertolak dari yang bersifat universal ke khusus. Silogisme sebagai suatu prosedur penalaran untuk memperoleh konklusi yang benar berdasarkan premis yang benar adalah suatu bentuk formal dari apodiktik atau deduksi
Cara yang kedua adalah epagogi atau induksi, yaitu cara menarik satu konklusi yang bersifat umum dari hal-hal yang khusus. Induksi bertolak dari pengamatan dan pengetahuan indrawi berdasarkan pengalaman, sedangkan deduksi sebaliknya sama sekali lepas dari pengamatan dan pengetahuan indrawi yang berdasarkan pengalaman tersebut. 
Menurut Aristoteles, deduksi adalah cara yang terbaik untuk menarik suatu kesimpulan demi memperoleh suatu pengetahuan baru. Oleh sebab itu, di dalam logika Aristoteles tidak begitu member tempat bagi induksi. Di dalam logika modern, barulah induksi memperoleh tempat yang khusus. 
Aristoteles mewariskan kepada muridnya enam buah buku mengenai logika yang oleh muridnya dinamai to Organon (yang berarti alat). Buku Aristoteles to Organon (alat) yang berjumlah enam tersebut, yaitu:
• Categoriae, menguraikan tentang pengertian suatu yang ada.
• De interpretatione, membahas tentang keputusan-keputusan.
• Analytica Posteriora,membahas tentang pembuktian.
• Analytica Priora,membahas tentang Silogisme (Syllogismos).
• Topica, member contoh uraian tentang argumentasi dan metode berdebat.
• De sohisticis elenchis,membahas tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir. 
Pada abad 9 hingga 15 (abad pertengahan), buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge masih banyak digunakan dalam mengembangkan logika. Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak hanya dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan atau “the master of those who know”.
Pada abad ke 18, Immanuel Kant dalam bukunya Critique of Pure Reason mengatakan bahwa logika yang diciptakan oleh Aristoteles, sejak semula sudah begitu sempurna sehingga tidak mungkin ditambah sedikitpun. Menurut Kant, sesudah dua puluh abad lamanya sejak Aristoteles menciptakannya, telah terbukti bahwa logika tidak dapat melangkah setapak pun. 
Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes dengan karyanya Leviatan dan John Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding7. 
F. Mengenal Tiga Aksioma Logika Aristoteles

Ada 3 Aksioma Logika yang dikembangkan oleh Aristoteles, yaitu :
Aksioma Pertama:  
Prinsip tidak ada jalan tengah. Prinsip ini dapat disebut juga prinsip ya atau tidak, mustahil kita berada di keduanya. 
Aksioma Kedua:  
Prinsip nonkontradiktif. Prinsip ini mengatakan bahwa sesuatu tidak mungkin berlawanan pada waktu yang bersamaan. Prinsip ini masih merupakan ada kaitannya dengan Aksioma Pertama. 
Aksioma Ketiga:  
Prinsip Identitas. Sebuah benda atau entitas adalah sama dengan dirinya sendiri8. 
7 http://202.78.195.82//artikel/1171.shtml
8 http://haqiqie.wordpress.com/2006/12/22/mengenal-tiga-aksioma-logika-aristoteles 
















1 komentar: