Rabu, 21 Januari 2009

LOGIKA ARISTOTELES

LOGIKA ARISTOTELES
ditulis oleh : Asep Setia, S.Ag.
A. Pendahuluan 
Aristoteles (Bahasa Yunani: ‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 SM – 322 SM) adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander yang Agung. Ia menulis berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan. etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat1.
Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles bergabung menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia. Saat Alexander berkuasa di tahun 336 SM, ia kembali ke Athena. Dengan dukungan dan bantuan dari Alexander, ia kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi nama Lyceum, yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM. Di situ ia mengembangkan dan mengajarkan sistem filsafat yang konon bertolak belakang dengan sistem Plato2.
B. Kontribusi dan karya
Filsafat Aristoteles berkembang pada waktu ia memimpin Lyceum, yang mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang metafisika, fisika, etika, politik, kedokteran dan ilmu alam3. Aristoteles sangat berpengaruh terhadap perkembangan logika. Banyak orang yang menyebut dia sebagai penemu, pelopor atau Bapak Logika. 
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles 
2 Bernard Defgraauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Tiara Wacana, 1992. Alih bahasa Sarjono Soemargono, Cet. I hlm. 29
3 Harun Adiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Kanisius, 1980. hlm. 45
 

Aristoteles seorang filosof dan ilmuwan yang mempelopori penyelidikan logika, memperkaya tiap cabang falsafah dan memberi sumbangan-sumbangan yang besar manfaatnya terhadap ilmu pengetahuan. Aristoteles adalah tokoh yang mengenalkan logika sebagai sebuah ilmu (yang kemudian disebut logica scientica). Ini adalah keistimewaan pertama yang teragung dari Aristoteles, yaitu bahwa hampir tanpa para pendahulu dan hampir seluruhnya dengan upaya pikirnya sendiri, ia menciptakan suatu ilmu baru, yaitu “logika”.
Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya ini menggambarkan kecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap hukum alam dan keseimbangan pada alam. Plato menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, sedangkan Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Selanjutnya ia menyatakan bahwa bentuk materi yang sempurna, murni atau bentuk akhir, adalah apa yang dinyatakannya sebagai theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan.
Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarki.
Karena luasnya lingkup karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis, dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat beragam sekali seperti fisika, astronomi, biologi, psikologi, metafisika (misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan puisi.
C. Pengaruh Pemikiran Aristoteles
Meskipun sebagian besar ilmu pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal yang masuk akal (common-sense explanation), banyak teori-teorinya yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Hal ini terjadi karena teori-teori tersebut karena dianggap masuk akal dan sesuai dengan pemikiran masyarakat pada umumnya, meskipun kemudian ternyata bahwa teori-teori tersebut salah total karena didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru.Misalnya teori Evolusi yang dianut oleh Charles Darwin, yang telah terbantahkan berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dapat dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas di abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (1135 – 1204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (1126 – 1198). Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak saja dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, atau "the master of those who know", sebagaimana yang kemudian dikatakan oleh Dante Alighieri4.
D. Konsep Realisme Aristoteles
Aristoteles mendasarkan sistemnya pada suatu metafisika yang sedikit-banyak menempatkan idealisme Plato di benaknya dengan berpendapat bahwa yang pada hakikatnya nyata itu partikula, bukan universa. Ia menyangkutpautkan partikula dengan suatu istilah khusus, “ousia”, yang bermakna “realitas”, walau biasanya istilah ini diterjemahkan menjadi “substansi”. Karena itu, pertanyaan dasar dalam “filsafat pertama” (maksudnya metafisika)-nya adalah “Apakah substansi itu?”. Ia menjawab pertanyaan ini dengan mendefinisikan substansi sebagai benda yang eksis secara individual. “Benda” semacam itu bukan sekadar forma atau pun sebongkah bahan. Benda ini pasti justru selalu menggabungkan bahan dan forma dengan sendirinya. Substansi itu menggabungkan forma dan bahan sedemikian rupa sehingga bahan ini memenuhi fungsi niscaya, alih-alih sekadar atribut atau ilusi. 
4 http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles 


Karena bahan substansi itu memberi “tanda pembeda”, yang “secara kalkulatif tinggal satu dan [masih] sama, [substansi] itu mampu menerima karakter yang bertentangan” melalui perubahan bahan. Umpamanya, kapur tulis yang dipegang masih akan merupakan contoh substansi “kapur tulis” walaupun berubah karakter dari kapur tulis putih menjadi kapur tulis merah. Inilah cara pandang khas terhadap hakikat realitas, yang disebut “realisme”.
Aristoteles mengembangkan lebih lanjut realismenya dengan memperbedakan antara substansi “primer” dan substansi “sekunder”. “Substansi primer ... adalah entitas yang mendasari segala benda lainnya”, sedangkan substansi sekunder adalah karakterisrik yang dapat “dipredikatkan” terhadap benda individual itu, khususnya jika karakteristik ini merupakan bagian dari definisi [yang menjawab] “what is it?”. Sesungguhnya substansi sekunder mestinya terbatas pada “genus” dan “spesies” benda individual. Sebagai misal, saya selaku manusia individu ialah substansi primer. Karena itu, fakta bahwa saya ialah manusia (spesies) dan hewan (genus) merupakan substansi sekunder, yang memberikan jenis substansi saya. Namun dalam pengertian yang lebih luas, segala benda yang “dipredikatkan [dari substansi primer] atau terdapat di dalamnya” bisa dianggap sebagai substansi sekunder. Jadi, substansi primer biasanya tampil di subyek kalimat, sedangkan substansi sekunder biasanya tampil di predikat-nya.
Artistoteles mengembangkan teorinya tentang substansi pada permulaan bukunya, Categories, yang mendefinisikan “kategori” sebagai “jenis benda yang paling umum”. Kata “forma” itu sendiri dapat dianggap sebagai makna “jenis seumum itu”, sehingga kategori merupakan forma yang sangat disamaratakan. Dalam Categories, Aristoteles menyusun daftar sepuluh jenis forma yang paling umum, yang pertama adalah substansi itu sendiri (yaitu jenis forma yang dijadikan nyata dengan ikut serta di dalam bahan). Sembilan lainnya merupakan karakteristik yang membantu kita memahami: seperti apakah substansi partikula itu. Di sini kita tidak perlu sampai merinci hakikat dan fungsi kategori-kategori tersebut. Cukup didaftar saja sembilan forma lain itu menurut urutan yang disajikan oleh Aristoteles: kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, tindakan, dan atribut (affection) Pembahasan Aristoteles tentang kategori-kategori ini banyak berkaitan dengan penggunaan istilah-istilah tersebut dalam bahasa kita (sehingga mengisyaratkan penekanan pada analisis linguistik dewasa ini). Namun demikian, ia pun jelas-jelas mengakui bahwa kategori-kategori tersebut menyediakan suatu cara pemahaman realitas itu sendiri (yaitu substansi) secara teratur dan sistematik.
Dalam menerapkan realismenya pada hal-hal partikula, Aristoteles menggunakan metode teleologis. Artinya, ia berpendapat bahwa forma benda sebaiknya terketahui melalui penyelidikan tentang maksud forma tersebut. Kata Yunani telos (“maksud”) juga mengacu pada akhir atau tujuan benda atau peristiwa. Mengapa ini ada? Untuk apa ini digunakan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bisa membantu kita menjelaskan mengapa sepotong bahan spesifik berforma tertentu (particular). Aristoteles memanfaatkan metode teleologisnya sebagai bagian terpadu dari tugas pengelompokan obyek-obyek alamiah dan obyek-obyek hasil pemikiran. Ini karena metode filosofisnya menaruh perhatian ganda pada klasifikasi logis (linguistik) dan observasi teleologis (empiris). Penekanan ganda ini berpengaruh besar terhadap orang-orang yang sejak itu mengikuti tradisi yang sering disebut tradisi “empirisis”.
Tentu saja, sains modern merupakan salah satu dari buah-buah tradisi empirisis. Jadi, tidaklah sampai mengejutkan bahwa ternyata banyak nama yang kita berikan kepada cabang-cabang sains yang berlainan, sebagaimana disiplin akademik lain, mula-mula ditetapkan dengan klasifikasi teleologis Aristoteles tersebut. Buku-bukunya banyak dicurahkan pada penamaan dan penyediaan landasan dasar bagi disiplin-disiplin seperti “psikologi”, “zoologi”, dan bahkan “metafisika” itu sendiri. Jadi, sebagai misal, ia mengatakan bahwa matematika itu mengenai penyebab formal, fisika mengenai penyebab material, dan teologi mengenai penyebab keilahian, sehingga ketiganya bisa dibedakan. 
Selain itu, ia menancapkan banyak pembedaan yang kini kita terima begitu saja, bukan hanya dalam filsafat (seperti esensi-eksistensi dan sebab-akibat), melainkan juga dalam ilmu empiris (seperti genus-spesies dan tanaman-hewan-manusia). Hal ini tentu saja membenarkan pandangan bahwa Aristoteles ialah “datuk” ilmu modern, walaupun metode teleologisnya sendiri kini dihujat oleh sebagian besar ilmuwan. (Sebagian besar, tidak semuanya. The Anthropic Cosmological Principle adalah salah satu contoh buku mutakhir yang signifikan yang ditulis oleh ilmuwan yang sungguh-sungguh menghargai metode teleologis.)
Untuk memperjelas perbedaan epistemologis antara realisme Aristoteles dan idealisme Plato dengan menggunakan sepotong kapur tulis sebagai contoh. Bagaimana kita tahu bahwa sepotong kapur tulis adalah kapur tulis? Apa yang membuatnya demikian? Plato akan mengatakan bahwa idea kapur tulis, “kekapurtulisan”-nya, merupakan realitas obyek ini. Itu karena seandainya kita hendak melakukan suatu pemberantasan di segenap penjuru dunia dengan menghancurkan semua partikula kapur tulis yang sekarang ada, kita tidak akan melakukan perubahan terhadap realitas “kekapurtulisan” sama sekali. Bahkan sekiranya kita secara sistematis menghapus semua referensi tertulis tentang kapur tulis di seluruh literatur dunia, dan menunggu kematian semua orang yang pernah melihat atau memakai kapur tulis, idea-nya masih akan senyata saat ini; ideanya masih akan merupakan forma yang keberadaannya abadi, menunggu untuk diingat kembali oleh beberapa generasi mendatang. Potongan zat yang kita sebut kapur tulis ini nyata hanya karena turut serta dalam idea nyata, idea kekapurtulisan.
Sebaliknya, Aristoteles akan mengatakan bahwa realitas substansi partikula ini yang saya pegang di tangan saya, yang dinamakan “kapur tulis”, bergantung bukan hanya pada keturutsertaannya dalam forma “kekapurtulisan”, melainkan juga pada kemampuan himpunan bahan untuk mengkonkretkan (yakni berfungsi sebagai contoh nyata) forma itu di dunia yang kita alami. Ini berarti bahan itu harus memenuhi maksud kapur tulis. Apa maksud kekapurtulisan dilimpahkan kepada sebongkah bahan? Untuk apa kapur tulis dipakai? Tentu saja, bila tampil di ruang kelas, sekurang-kurangnya, kapur tulis dipakai untuk menulis hal-hal di papan tulis. Jadi, jika saya jatuhkan sepotong kapur tulis ke lantai dan kemudian meremukkannya—seperti ini (jangan bilang-bilang saya melakukannya)—maka Aristoteles akan mengatakan bahwa saya telah menghancurkan substansinya, realitas kapur tulis. Dalam kasus ini bahan-nya masih ada, tetapi formanya tidak lagi eksis sebagai kapur tulis.
Jadi, baik bagi Plato maupun Aristoteles, forma benda merupakan faktor penting dalam penentuan realitasnya. Namun bagi Plato, forma saja sudah mencukupi; sedangkan bagi Artistoteles, kaitan-pasti dengan bahan juga diperlukan. Pandangan mereka bisa diringkas secara cukup sederhana sebagai berikut:
  Idealisme Plato Realisme Aristoteles
  ---------------- --------------------
  forma = realitas forma + bahan =
  bahan = ilusi substansi (realitas)
Bagaimana pandangan Aristoteles tentang hakikat manusia? Bagaimana sudut pandang metafisis barunya, realismenya, mempengaruhi cara pemahamannya terhadap realitas manusia? Ia sependapat dengan Plato bahwa jiwa (psyche) adalah forma raga. Secara demikian, fungsi utamanya diperikan dengan peristilahan “daya penyerap gizi (nutritive), daya penyelera (appetitive), daya pengindera (sensory), daya penggerak (locomotive), dan daya pemikir (rational)”. Raga itu sendiri kini diakui tidak hanya sebagai atribut atau ilusi, tetapi juga sebagai unsur penting substansi manusia; melalui raga, daya-daya ini diwujudkan. Bagi anda, pandangan ini mungkin terasa jauh lebih alamiah daripada pandangan idealis Plato; sekalipun demikian, beberapa konsekuensinya mungkin kurang dikehendaki. Ini karena jika raga merupakan unsur-niscaya dalam manusia, maka bila raga mati, mati pula realitas keberadaaan individu manusia. Jiwa tanpa raga tidak akan lebih nyata daripada idea kekapurtulisan belaka dan tidak akan lebih berguna daripada serpihan debu kapur tulis di lantai ini untuk menulis di papan tulis. Implikasi negatif realisme Aristoteles tersebut, bagi siapa saja yang memyakini kehidupan sesudah kematian, akhirnya mulai menyebabkan idealisme Plato tidak begitu buruk! (Suatu jalan lain di seputar masalah itu akan sampai pada keyakinan bahwa raga itu sendiri dihidupkan kembali entah bagaimana, walau dalam keadaan yang sedikit-banyak berubah, sesudah kita meninggal).
Aristoteles sendiri mungkin telah berupaya menambal-sulam konsekuensi realismenya yang pada potensinya tidak mengenakkan tatkala ia berpendapat bahwa jiwa manusia mempunyai maksud lain yang membuatnya berbeda dengan segala substansi duniawi lainnya. Jiwa tanaman disifati oleh daya penyerap gizi dan daya penyelera. Jiwa hewan memiliki sifat-sifat itu, tetapi ditembah dengan daya pengindera dan daya penggerak (yakni daya untuk bergerak). Jiwa manusia mempunyai semua tujuan atau maksud itu, yang menentukan jiwa tanaman dan hewan, tetapi melampaui itu semua melalui daya pemikir (nous). Dengan memandang bahwa Tuhan ialah yang rasional murni, Aristoteles berpikiran bahwa aspek sifat manusiawi ini menandakan “percikan ilahi” pada diri kita masing-masing. Secara demikian, ia memaparkan bahwa jiwa manusia merupakan [bagian] dari “hewan rasional”—suatu gagasan yang telah menjadi salah satu cara penentuan hakikat manusia yang paling luas penerimaannya. Dengan memperlakukan rasionalitas itu sendiri sebagai karakteristik jiwa ilahi, kita bisa memetakan pembedaan Aristoteles pada sebuah salib, seperti yang terlihat pada Gambar di bawah ini.
  kehidupan insani
  (spiritual, bergerak)
 
kehidupan fauna kehidupan flora
(non-spiritual, (non-spiritual,
  bergerak) tidak bergerak)
  kehidupan ilahi
  (spiritual, tidak bergerak)
Empat Forma Kehidupan (Jiwa) Ala Aristoteles
Pandangan tentang jiwa tersebut memberi jalan bagi Aristoteles yang membolehkan tipe kehidupan sesudah kematian. Dalam hal ini ia mengatakan, bila jiwa “terpasang bebas dari kondisinya sekarang ini” (yakni manakala raga manusia itu mati), inti rasionalitas yang tersisa itu “bersifat kekal dan tidak mati”. Itu menyiratkan bahwa “percikan” rasionalitas pada jiwa individu akhirnya akan kembali ke “api” Tuhan yang merupakan asalnya. Meskipun masih tidak membolehkan kehidupan sesudah kematian, setidak-tidaknya hal itu memberi tujuan universal untuk menciptakan dan melangsungkan kehidupan yang berharga. Jika maksud kehidupan adalah meluaskan dan mengembangkan rasionalitas hingga titik maksimalnya, maka tentu saja filsafat merupakan kejuruan paling bermakna yang bisa diburu oleh manusia. Dalam pandangan Aristoteles, bagian universal dan filosofis dari anda, dan bagian itu sendirian, akan menghidupkan kematian anda. 
Terdapat banyak segi-lain filsafat Aristoteles yang akan menarik bagi kita untuk dibahas di sini seandainya kita mempunyai waktu yang lebih banyak. Saya akan menyimpulkan dengan menyebutkan idenya saja bahwa semua pergerakan di dunia berasal dari “penggerak pertama” yang dengan sendirinya “tidak bergerak”. Yang-Berada ini juga merupakan “penyebab terakhir” (yakni tujuan puncak) semua pergerakan. Dengan kata lain, semua perubahan di dunia sekeliling kita bergerak menuju titik sandaran terakhir. Di titik ini semua perubahan itu kembali ke sumber mereka di penggerak yang tidak bergerak, seperti yang terlukis pada Gambar di bawah ini
  Titik Omega
  (Tuhan)
  penyebab penggerak
  terakhir pertama
 
 
  alam
  semesta
Penggerak Pertama selaku Penyebab Terakhir
Ide serupa juga dikembangkan secara cukup rinci oleh seorang paleontolog abad keduapuluh, pendeta Jesuit, dan filsuf mistis, Pierre Teilhard de Chardin (1881-1955), yang berpendapat bahwa keseluruhan kosmos bergerak menuju sasaran kesatuan-dalam-keragaman hakiki (ultimate unity-in-diversity), bernama “titik omega”—“omega” merupakan huruf terakhir abjad Yunai dan lambang tujuan abadi. Ini hanyalah salah satu contoh bagaimana para filsuf sepeninggalnya, khususnya sesudah munculnya agama Kristean, mengembangkan ide-ide Aristotelian menjadi catatan yang menarik tentang bagaimana alam semesta bisa terkait dengan Yang-Berada yang biasanya kita sebut Tuhan5.
E. Konsep Rasionalisme Aristoteles
Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal.Selain itu, tidak ada sumber kebenaran
yang hakiki.
Hal yang paling penting yang pernah dilakukan oleh Aristoteles adalah pendekatan rasional yang senantiasa melandasi karya-karyanya. Sikap Aristoteles tercermin dalam tulisan-tulisannya bahwa tiap segi kehidupan manusia atau masyarakat selalu terbuka untuk obyek pemikiran dan analisa. Salah satu pendapat Aristoteles adalah bahwa alam semesta tidaklah dikendalikan oleh hal yang serba kebetulan, oleh magi, oleh keinginan yang tidak terjajaki, kehendak dewa yang terduga, melainkan tingkah laku alam semesta itu tunduk pada hukum-hukum rasional. Kepercayaan ini menurut Aristoteles diperlukan bagi manusia untuk mempertanyakan tiap aspek dunia alamiah secara sistematis dan kita harus memanfaatkan baik pengamatan empiris dan alasan-alasan yang logis sebelum mengambil keputusan. Rangkaian sikap-sikap ini bertolak belakang dengan tradisi, tahyul dan mistik, dan ini secara mendalam telah mempengaruhi peradaban Eropa6. 
Penyelidikan Aristoteles tentang teori logika dipandang sebagai karya yang paling penting dari sekian banyak hasil karyanya. Dia dipandang sebagai pendiri cabang filosofi yang penting ini. 
5 http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/pf/PK03.htm
6 Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, PT. Dunia Pustaka Jaya,1982. Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, hlm.

Hal ini sebenarnya berkat sifat logis dari cara berpikir Aristoteles yang memungkinkannya mampu mempersembahkan begitu banyak bidang ilmu. Dia punya bakat mengatur cara berpikir, merumuskan kaidah-kaidah dan jenis-jenisnya yang kemudian menjadi dasar berpikir di banyak bidang ilmu pengetahuan. Aristoteles tidak pernah terpengaruh oleh hal-hal yang berbau mistik ataupun ekstrim. Aristoteles senantiasa bersiteguh mengutarakan pendapat-pendapat praktis. 
Pada masa Aristoteles, logika masih disebut dengan analitika, yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berawal dari sebuah proposisi yang benar. Selain itu, logika saat itu disebut juga dengan dialektika, yang secara khusus meneliti argumentasi yang berawal dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah Silogisme. 
Sesungguhnya, silogismelah yang merupakan penemuan Aristoteles yang murni dan yang terbesar dalam logika. Silogisme adalah suatu bentuk dari cara memperoleh konklusi yang ditarik dari proposisi demi meraih kebenaran, bukan semata-mata untuk menyusun argumentasi dalam suatu perdebatan, melainkan juga sebagai metode dasar bagi pengembangan semua bidang ilmu pengetahuan. Silogisme terdiri atas tiga proposisi. Dari ketiga proposisi itu, proposisi yang ketiga merupakan konklusi yang ditarik dari proposisi pertama dengan bantuan proposisi kedua. Proposisi ketiga disebut konklusi, sedangkan proposisi pertama dan proposisi kedua disebut premis. 
Silogisme Aristoteles dapat kita dipandang sebagai perkembangan dari silogisme lemah Plato, dengan pengertian bahwa prinsip silogisme Aristoteles telah digunakan secara umum dan sistematis. 
Aristoteles juga mengembangkan suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), dimana sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia juga menyadari pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking).  
Menurut Aristoteles, ada dua cara menarik kesimpulan untuk memperoleh pengetahuan baru. Cara yang pertama disebut apodiktik atau deduksi yaitu cara menarik konklusi berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan yang bertolak dari yang bersifat universal ke khusus. Silogisme sebagai suatu prosedur penalaran untuk memperoleh konklusi yang benar berdasarkan premis yang benar adalah suatu bentuk formal dari apodiktik atau deduksi
Cara yang kedua adalah epagogi atau induksi, yaitu cara menarik satu konklusi yang bersifat umum dari hal-hal yang khusus. Induksi bertolak dari pengamatan dan pengetahuan indrawi berdasarkan pengalaman, sedangkan deduksi sebaliknya sama sekali lepas dari pengamatan dan pengetahuan indrawi yang berdasarkan pengalaman tersebut. 
Menurut Aristoteles, deduksi adalah cara yang terbaik untuk menarik suatu kesimpulan demi memperoleh suatu pengetahuan baru. Oleh sebab itu, di dalam logika Aristoteles tidak begitu member tempat bagi induksi. Di dalam logika modern, barulah induksi memperoleh tempat yang khusus. 
Aristoteles mewariskan kepada muridnya enam buah buku mengenai logika yang oleh muridnya dinamai to Organon (yang berarti alat). Buku Aristoteles to Organon (alat) yang berjumlah enam tersebut, yaitu:
• Categoriae, menguraikan tentang pengertian suatu yang ada.
• De interpretatione, membahas tentang keputusan-keputusan.
• Analytica Posteriora,membahas tentang pembuktian.
• Analytica Priora,membahas tentang Silogisme (Syllogismos).
• Topica, member contoh uraian tentang argumentasi dan metode berdebat.
• De sohisticis elenchis,membahas tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir. 
Pada abad 9 hingga 15 (abad pertengahan), buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge masih banyak digunakan dalam mengembangkan logika. Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak hanya dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan atau “the master of those who know”.
Pada abad ke 18, Immanuel Kant dalam bukunya Critique of Pure Reason mengatakan bahwa logika yang diciptakan oleh Aristoteles, sejak semula sudah begitu sempurna sehingga tidak mungkin ditambah sedikitpun. Menurut Kant, sesudah dua puluh abad lamanya sejak Aristoteles menciptakannya, telah terbukti bahwa logika tidak dapat melangkah setapak pun. 
Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes dengan karyanya Leviatan dan John Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding7. 
F. Mengenal Tiga Aksioma Logika Aristoteles

Ada 3 Aksioma Logika yang dikembangkan oleh Aristoteles, yaitu :
Aksioma Pertama:  
Prinsip tidak ada jalan tengah. Prinsip ini dapat disebut juga prinsip ya atau tidak, mustahil kita berada di keduanya. 
Aksioma Kedua:  
Prinsip nonkontradiktif. Prinsip ini mengatakan bahwa sesuatu tidak mungkin berlawanan pada waktu yang bersamaan. Prinsip ini masih merupakan ada kaitannya dengan Aksioma Pertama. 
Aksioma Ketiga:  
Prinsip Identitas. Sebuah benda atau entitas adalah sama dengan dirinya sendiri8. 
7 http://202.78.195.82//artikel/1171.shtml
8 http://haqiqie.wordpress.com/2006/12/22/mengenal-tiga-aksioma-logika-aristoteles 
















PENGAMALAN HADITS

TA’AMUL (PENGAMALAN) HADITS
Oleh : Asep Setia, S.Ag

A. Pendahuluan
Hadits Mutawatir memberikan faedah “ Yaqin bi’l-Qath’i “ (sepositif-positifnya), bahwa Nabi Muhammad saw. Benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan ikrar (persetujuannya) dihadapan para shahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan kesepakatan untuk berdusta. Oleh karena sumber-sumbernya sudah meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu diperiksa dan diselidiki dengan mendalam identitas para rawi itu. Berlainan dengan hadits ahad , yang memberikan faedah “ dhanny “ (prasangka yang kuat akan kebenarannya, meng haruskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan yang seksama, mengenai identitas (kelakuan dan keadaan) para rawinya, disamping keharusan mengadakan penyelidikan mengenai segi-segi lain, agar hadits ahad tersebut dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak, bila ternyata terdapat cacat-cacat yang menyebabkan penolakan. Dari segi ini, hadits ahad terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : Hadits Shahih, Hadits Hasan dan Hadits Dla’if. 
B. Hadits Maqbul
Hadits maqbul, yakni Hadits: 
(1) Shahih Ii Dzatihi, 
(2) Shahih li Ghairihi, 
(3) Hasan Ii Dzatihi, 
(4) Hasan li Ghairihi, kesemuanya dapat diterima menjadi hujah dan pada dasarnya dapat diamalkan dan digunakan. Hadits maqbul yang dapat diamalkan disebut Hadits maqbul ma'mul bih.
Dalam pada itu, ada Hadits maqbul yang tidak dapat diamalkan, bukan karena kurang dalam kemaqbulannya. Namun karena beberapa sebab yang lain. Hadits demikian disebut Hadits maqbul ghairu ma rout bib.
C. Pembagian Hadits Maqbul
Dilihat dari segi pengamalannya Hadits maqbul terbagi pada:
a. Hadits Maqbul Ma'mul bih, yakni:
1) Hadits Muhkam, ialah Hadits yang dapat diamalkan secara pasti, sebab tidak ada syubhat sedikitpun, tidak ada pertentangan dengan Hadits lain yang mempengaruhi atau melawan artinya, jelas dan tegas lafazh dan maknanya.
2) Hadits Mukhtalif, yakni Hadits maqbul yang tanakud (berlawanan) yang dapat dikompromikan (jam'u). Hadits¬hadits yang saling berlawanan kalau bisa dikompromikan diamalkan kedua-duanya.
3) Hadits Rajih, yakni Hadits yang terkuat di antara dual buah Hadits maqbul yang berlawanan.
4) Hadits Nasikh, yakni Hadits yang datang lebih akhir yang menghapus ketentuan hukum yang datang lebih dahulu dari dua buah Hadits maqbul yang tanaqud.
b. Hadits Maqbul Ghair Ma'mul bih:
1) Hadits Mutasyabih, ialah Hadits yang sukar dipahami maksudnya karena tidak diketahui ta'wilnya. Hadits Mutasyabih harus diimankan adanya tapi tidak boleh diamalkan.
2) Hadits Marjuh, yakni Hadits maqbul yang ditenggang oleh Hadits maqbul yang lebih kuat.
3) Hadits Mansukh, yakni Hadits maqbul yang telah dihapuskan oleh Hadits maqbul yang datang kemudian.
4) Hadits Mutawwaqaf fih, yakni dua buah Hadits maqbul atau lebih yang saling berlawanan yang tidak dapat dikompromikan, dinasakh atau ditarjih. Kedua Hadits tersebut hendaknya dibekukan untuk sementara.

D. Cara Mengatasi Hadits Maqbul yang berlawanan 
Apabila ada dua Hadits itu maqbul nilainya, namun saling berlawanan lahirnya (mukhtalif) maka cara mengatasinya adalah: 
a. Menjama'kan (mengkompromikan) keduanya sampai hilang perlawanannya, kedua-duanya diamalkan.
b. Dicari Rajih-Marjuhnya (tarjih), Hadits yang rajih diamalkan dan yang marjuh ditinggalkan.
Ada tiga cara:
1) Dari segi sanad (i'tibar al-sanad);
a) Rawi yang banyak lebih kuat (rajih) daripada yang sedikit.
b) Rawi Shahabat Besar lebih kuat (rajih) daripada rawi Shahabat Kecil.
c) Rawi yang tsiqat lebih kuat (rajih) daripada rawi yang kurang tsiqat.
2) Dari segi Matan (i'tibat al-matan);
a) Hadits yang mempunyai arti hakikat merajihkan Hadits yang mempunyai arti majazi.
b) Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi merajihkan Hadits yang hanya mempunyai petunjuk maksud dari satu segi.
c) Matan Hadits qauli merajih yang fi'li.
3) Dari segi hasil penunjukan (madlul), madlul yang mutsbit (positif) merajihkan yang nafi (negatif).
c. Dicari nasikh-mansukh, yang nasikh diamalkan yang mansukh ditinggalkan.
Cara menasakh termaksud adalah sebagai benikut:
1) Penjelasan Syar'i sendiri (melalui pernyataan Nabi SAW).
2) Penjelasan dari Shahabat, mereka menyaksikan wurud¬nya Hadits.
3) Diketahui masa wurud-nya Hadits:
a) Terdapat kata-kata ibtida' atau awal. 
b) Terdapat kata-kata qabliyah. 
c) Terdapat kata-kata ba'diyah.
d) Terdapat kata-kata yang menunjukkan waktu; se¬bulan sebelum, sebulan sesudah, setahun sebelum, setahun sesudah dan lain-lain.
d. Ditawaqufkan bila tidak bisa dijama ; ditarjih, dan dinasakh.Haditsnya tidak diamalkan.

E. Nilai Hadits Dla’if 
Pada dasarnya nilai Hadits Dha'if adalah mardud, tertolak dan tidak dapat dijadikan hujah. Hadits Maudhu'sama sekali tidak bisa dijadikan hujah. Bahkan meriwayatkan Hadits Maudhu'tanpa menyebutkan kemaudhu'annya dilarang. Bila Hadits Dha'if mem¬punyai syahid atau muttabi ; nilainya naik menjadi Hasan li Gbairihi. Namun apabila bukan termasuk katagori Hadits Maudhu ; Matruk,dan Munkar. Pendapat para ulama tentang meriwayatkan (untuk berhujah) terhadap Hadits dha'if gharib (tidak ada syahid dan mut¬tabi ) dan tidak maudhu ; sebagai berikut:
1) Melarang secara mutlak meriwayatkan dan atau mempergunakan untuk berhujah dengan Hadits Dh'if, baik untuk menetapkan hukum maupun tentang keutamaan amal. (Pendapat Abu Bakar ibn al-'Arabi).
2) Membolehkan periwayatan dan penggunaan Hadits Dha'if untuk memberi dorongan, menerangkan keutamaan amal dan cerita, bukan untuk hukum Syari'at dan 'Akidah. (Pendapat Ahmad ibn Hanbal, 'Abd al-Rahman ibn Mahdi, `Abdullah ibn al-Mubarrak).
3) Ibn Hajar al-`Asqalani membolehkan berhujah dengan Hadits Dha-'if untuk fadhail al-amal, dengan syarat:
a) Hadits Dha'if itu tidak keterlaluan (bukan Maudhu ; Matruk dan Munkar).
b) Dasar amal yang ditunjuk oleh Hadits Dha'if tersebut di bawah suatu dasar yang dibenarkan oleh Hadits Shahihdan Hasan.
c) Dalam mengamalkannya tidak mengi'tikadkan bahwa Hadits tersebut benar-benar bersumber dari Nabi, tujuan mengamal-kannya hanya semata-mata untuk ihtiyath, ke¬hati-hatian saja.
4) Al-Nawawi berpendapat, bahwa bila hendak menukilkan Hadits Dha'if tanpa menyebutkan sanadnya, hendaknya jangan memakai sighat jazm (qala, fa'ala dan amara Kasulullah kadza wa kadza), tapi hendaknya dengan sighat tamrid (ruwiya `an, hukiya `an Kasulillah annahu qala, annahu dzakara). Sebab sighat jazm ini memberikan pengertian bahwa Rasul benar-benar bersabda, berbuat atau memerintahkan seperti apa yang diriwayatkan.
Apabila kita membaca dalam kitab Hadits terdapat suatu Hadits yang termasuk kategori Hadits Dha'if Mu'allaq, kita jangan buru-buru menghukumi sebagai Hadits Dha'if Mu allaq, sebab kemungkinan mudawwin telah menulis Hadits tersebut dalam sanad yang muttashil di tempat lain, maksudnya hanya untuk meringkas atau menghindari pengulangan sanad.

F. Kehujjahan Hadits Mursal
Tentang kehujahan Hadits Mursal di kalangan ulama ada beberapa pendapat:
1) Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah menerima Hadits Mursal sebagai hujah, beralasan oleh karena tabi'in dipandang sebagai rawi yang adil dan dianggap tidak mungkin mengadakan penipuan tentang pengguguran rawi shahabat.
2) Al-Syafi'i dan ulama jumhur memandang bahwa Hadits Mursal sebagai Hadits Dha'if, tidak dapat dibuat hujah, sebab rawi yang digugurkan tersebut belum jelas identitasnya. Al-Syafi'i mengecualikan:
a) Hadits Mursal dari Ibn Musayyab, sebab pada umumnya ia tidak meriwayatkan Hadits selain dari Abu Hurairah. 
b) Hadits Mursal yang dikuatkan oleh Hadits musnad dha'if maupun shahih.
c) Hadits Mursal yang dikuatkan oleh qiyas.
d) Hadits Mursal yang dikuatkan oleh Hadits Mursal yang lain.
3) Al-Syaukani menekankan bahwa Hadits Mursal tidak dapat dapat dibuat hujah secara mutlak, karena adanya keraguan dan tidak diketahui dengan jelas tentang keadaan rawinya, syarat untuk mengamalkan Hadits harus diketahui keadilannya.



Corak-corak Tafsir

CORAK - CORAK PENAFSIRAN

ditulis oleh : Asep Setia, S.Ag.

Untuk lebih memahami corak-corak penafsiran alangkah lebih baiknya membaca terlebih dalu tentang bentuk dan metodologi penafsiran, karena dari bentuk dan metodologi inilah akan dihasilkan corak-corak penafsiran sesuai dengan kecenderungan atau kemauan mufasirnya seperti tasawuf, fikih, filsafat, dan lain-lain; namun ada pula yang tidak mengarah kepada corak tertentu tapi bersifat umum. Artinya, tafsir tersebut tidak dapat dikategorikan ke dalam salah satu corak tertentu melainkan mencakup berbagai hal secara umum; dan di samping itu, juga tidak tertutup kemungkinan digunakan corak kombinasi yakni dengan menggabungkan dua corak tafsir sekaligus.
Jadi boleh dikatakan 'bentuk penafsiran' merupakan pendekatan (approach) dalam proses penafsiran; sementara 'metode penafsiran' sebagai sarana atau media yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan; dan'corak penafsiran' merupakan tujuan instruksional dari suatu penafsiran.1 Itu berarti apa pun bentuk dan metode tafsir yang dipakai, semuanya berujung pada corak penafsiran; baik corak umum, khusus, maupun kombinasi.
Dalam bahasa Indonesia kosakata 'corak' menunjuk kepada berbagai konotasi antara lain 'bunga' atau 'gambar-gambar' pada kain, anyaman, dan sebagainya. Misalnya dikatakan "corak kain sarung itu kurang bagus; besar- besar corak kain batik itu"; dan dapat pula berkonotasi kata sifat yang berarti paham, macam, atau bentuk tertentu, misalnya: perkumpulan itu tidak tentu coraknya; corak politiknya tidak tegas.2
Dalam Kamus Indonesia-Arab oleh Rusyadi dkk kosakata "corak" diartikan dengan “ “ (warna) dan (bentuk).3 Sampai sekarang belum ditemukan ulama tafsir yang menggunakan kosakata dalam tafsir untuk 
1 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. Ke-1, 1998, h. 10.
2 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cet. Ke-1, 1988, h. 173.
3 Rusyadi; et. Al., Kamus Indonesia Indonesia-Arab, Jakarta, Renika Cipta, 1995, h. 181.


menunjuk makna "corak" sehingga tidak ada yang berkata tapi istilah jamaknya dapat dijumpai dalam kitab al-Dzahabi seperti ditulisnya (corak-corak penafsiran Alqur'an pada setiap fasenya) dan “ “ (corak-corak penafsiran di abad modern).4 
Sampai sekarang pemakaian term 'corak' bagi suatu penafsiran belum begitu populer bila dibandingkan dengan term 'metode' sama halnya dengan term 'bentuk tafsir' sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Di samping istilah 'corak’ (lawn) dalam ilmu tafsir juga ditemukan term yang bersinonim dengannya yaitu ittijah, nahiyat dan madrasat. Misalnya dikatakan (kecenderungan¬-kecenderungan aliran dalam tafsir Alqur'an).5 
Kosakata ittijah mengandung arti wijhat (arah) karena kata tersebut secara etimologis memang berasal darinya (wijhat). Dalam kamus Lisan al-'Arab kata wijhat diartikan dengan "kiblat dan yang semakna dengannya".6 Adapun pemakaian istilah nahiyat misalnya al-Dzahabi menulis (Perhatian al-Zamakhsyari terhadap aspek sastra Alqur'an).7 Sedangkan pemakaian istilah 'madrasat al-tafsir' dapat dijumpai dalam kitab Manahij al-Qur'an oleh al-Jawni seperti ditulisnya: (aliran kebahasaan dalam tafsir, aliran rasional dalam tafsir).
Dari sekian banyak istilah yang digunakan para ulama tafsir untuk menjelaskan sosok sebuah penafsiran, tampak istilah 'corak' lebih netral dan lebih familiar dengan budaya Indonesia. Karenanya dalam tulisan ini kita lebih cenderung untuk memakai term 'corak' ketimbang yang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan corak
4 Al-Tafsir wa al-Mufasirun, I, h. 140; III, h. 162
5 Jibril, Madkhal ila Manahij al-Mufassirin, Kairo, 1978, h. 135 (al-Risalat)
6 Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, xiii, h. 556


penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide tersebut.8 Seorang teolog, misalnya, penafsirannya sangat mungkin didominasi oleh pemikiran dan konsep-konsep teologis; begitu pula seorang faqih penafsirannya didominasi oleh konsep-konsep fikih; sementara seorang sufi menafsirkan Alqur'an berdasarkan pengalaman-pengalaman batinnya; begitu seterusnya. Itu berarti, bila sebuah kitab tafsir mengandung banyak corak (minimal tiga corak) dan kesemuanya tidak ada yang dominan karena porsinya sama, maka inilah yang disebut corak umum. Tapi bila ada satu yang dominan, maka itu disebut corak khusus, bila yang dominan itu ada dua corak secara bersamaan yakni kedua-duanya mendapat porsi yang sama, maka inilah yang disebut corak kombinasi.
Namun untuk menentukan pemakaian bentuk, metode dan corak tafsir, seorang mufasir mempunyai kebebasan penuh. Artinya sekali pun dia seorang ahli hadis, misalnya, namun tafsirannya boleh saja memakai bentuk al-ra'y, seperti Tafsir al-Jalalain juz I menggunakan bentuk al-ra'y dengan metode ijmali dan corak umum padahal pengarangnya, al-Suyuthi adalah seorang ahli hadis kenamaan. Digunakannya metode tafsir serupa itu menurut pengakuan al-Suyuthi sendiri ialah karena dia ingin merampungkan karya [gurunya] al¬Mahalli yang baru selesai separuh kedua dari Alqur'an (surat al-Kahfi sampai al-Nas). Oleh karena itu, dia mengikuti model penafsiran yang telah dirintis oleh gurunya itu secara penuh.9 Jadi sekali pun pengetahuannya sangat luas tentang hadis dan penguasaannya amat memadai tentang sejarah, namun dalam tafsir al-Jalalain dia memilih bentuk al-ra'y dengan metode global dan corak umum. 

8 Nashruddin Baidan, “ Tinjauan Kritis Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia “, di dalam Profetika, Surakarta PMSI-UMS, vol. 2, No. 2, Juli 2000, h. 265.
9 Al-Syuyuthi, Tafsir al-Jalalain, I, h. 237-238



Ini suatu bukti yang amat nyata bahwa para mufasir memang mempunyai kebebasan penuh dalam menentukan pilihan terhadap model penafsiran yang dia inginkan. Itu berarti latar belakang keahlian seorang mufasir tidak serta merta langsung berpengaruh terhadap karya tafsirnya, tapi amat tergantung pada kemauan si mufasir itu sendiri dan faktor lingkungan yang mengelilingi si mufasir tersebut. Tapi yang jelas setiap pemilihan model tersebut selalu ada yang mendorong dan memicunya.
Untuk lebih jelas berikut ini dikemukakan sejumlah contoh penafsiran Alqur'an sesuai dengan corak yang mendominasinya.
I. Corak Umum 
Teks ayat:
 
Artinya:
“ dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya “. (Q.S. Al-Maidah : 5).
a. Tafsir Ibn Katsir10 (Teks Terlampir)
([Dan dihalalkan bagimu menikahi] perempuan-perempuan terhormat diantara mereka yang diberi al-Kitab sebelum kamu)
([Kehalalan menikahi mereka itu] ialah bila kamu telah menyerahkan mas kawin mereka)
b. Tafsir Ruh al-Ma’ani 11 (Teks Terlampir)
([Dan dihalalkan bagimu menikahi] perempuan-perempuan terhormat diantara mereka yang diberi al-Kitab sebelum kamu)
([Kehalalan menikahi mereka itu] ialah bila kamu telah menyerahkan mas kawin mereka)
10 Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Tashih Mahmud Hasan, Bairut, Dar al-Fikr, II, Thab’at Jadidat, 1992. h. 27-28.
11 Abu al-Fadhl Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud al-Alusi, t.tp., Dar al-Fikr, juz 6, III, t.th., h. 66.
c. Tafsir al-Jalalain12 (Teks Terlampir)
([Perempuan-perempuan terhormat] yaitu perempuan-perempuan merdeka [bukan budak] (yang berasal dari ahli kitab sebelum kamu) halal bagimu menikahi mereka (asalkan kamu membayar mas kawinnya) yakni mahar mereka).
Jika diamati dengan saksama ketiga penafsiran itu, maka tampak dengan jelas bahwa dua mufasir pertama menggunakan metode analitis dalam penafsiran mereka. Hal itu terlihat dari kecenderungan mereka untuk menjelaskan pemahaman ayat itu dari berbagai aspek seperti bahasa, kosakata, pendapat ulama, dan sebagainya, sehingga terasa pemahaman ayat itu menjadi lebih luas bila dibandingkan dengan tafsir yang menggunakan metode global seperti pada contoh ketiga (c). Dalam contoh ini uraian teramat pendek hanya sekitar dua baris; sehingga keahlian mufasir dan gagasan-gagasan yang brilian darinya tidak menonjol, kecuali hanya komentar singkat. Hal itu dikarenakan mufasir pada contoh ketiga itu menggunakan metode ijmali (global) sedang dua mufasir sebelumnya menggunakan metode analitis sebagaimana telah disebut.
Meskipun dua mufasir pertama itu sama-sama menggunakan metode analitis, namun bentuk penafsiran mereka bertolak belakang. Ibn Katsir misalnya, menggunakan bentuk al-ma'tsur sebaliknya, al-¬Alusi menggunakan bentuk al-ra'y dan al-Jalalain juga memakai al-¬ra'y. Perhatikanlah, begitu mulai menafsirkan ayat itu, Ibn Katsir langsung merujuk pendapat ulama lain sebagai dikatakannya (ada yang berpendapat, yang dimaksud dengan itu ialah wanita-wanita merdeka bukan budak). Begitu seterusnya ia banyak sekali memakai riwayat, baik dari Nabi, maupun dari para ulama sehingga seakan-akan dia (Ibn Katsir) tidak punya pendapat tentang ini.
12 Al-Jalalain, Tafsir al-Qur’an al-Karim¸ Surabaya, Dar al-Nasyr al-Mishriyyat, I, t.th. h. 96.




Hal itu berbeda sekali dari penafsiran yang dilakukan oleh al¬Alusi. Pada permulaan kalam saja sudah tampak bahwa al-Alusi dalam menafsirkan Alqur'an berangkat dari pemikiran rasional (al¬ra'y) tidak dari riwayat seperti dikatakannya ketika menafsirkan itu (Sekalipun mereka para wanita yang memerangi Islam, sebagaimana tampak dari lahiriah teks ayat). Hal serupa juga terlihat dalam tafsir al-Jalalain.
Penafsiran al-Alusi dan al-Jalalain itu jelas berasal dari mereka sendiri setelah memperhatikan ungkapan ayat itu. Artinya, mereka tidak terlalu tergantung pada riwayat; sehingga penafsiran berjalan terus meskipun tidak ada riwayat. Itulah sebabnya, kita masih menemukan hadis-hadis atau atsar-atsar dalam kitab tafsir mereka, terutama pada metode analitis, padahal bentuk penafsirannya ialah al-ra'y. Hal itu dimungkinkan karena tafsir dalam bentuk al-ra'y tidak melarang pemakaian riwayat karena yang menjadi ciri utama tafsir bi al-ra'y itu ialah menempatkan pemikiran rasional sebagai titik tolak dalam proses penafsiran. Itu sebabnya dalam kitab tafsir semacam ini lebih banyak ditemukan pemikiran-pemikiran rasional daripada riwayat; dan tafsir bi al-ma'tsur kebalikannya. Artinya, proses penafsiran selalu didasarkan pada riwayat. Itu sebabnya kitab tafsir semacam ini penuh oleh riwayat, hingga seakan-akan mufasirnya tak punya pendapat.
Jadi pemakaian riwayat dalam tafsir bi al-ra'y hanya sekadar legitimasi tidak menjadi subjek penafsiran; sementara dalam tafsir bi al-ma'tsur riwayat itulah yang menjadi tumpuan penafsiran; sehingga penafsiran akan jalan terus selama riwayat masih ada, jika habis riwayat, maka penafsiran pun berakhir pula sebagaimana tampak dalam tafsir Ibn Katsir di atas.
Apabila diperhatikan corak penafsiran pada ketiga kitab tafsir itu, tampak kepada kita, mereka tidak mengemukakan corak tertentu, tapi umum. Ibn Katsir, misalnya, meskipun seorang hafizh dan ahli sejarah,13 namun kitab tafsirnya tidak didominasi oleh pemikiran-pemikiran hadis dan kesejarahan melainkan bersifat umum. Dalam arti ia menafsirkan ayat-ayat Alqur'an itu sesuai kandungan 
13 Lihat al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo, Dar al-Kutub al-Haditsat, I, cet. Ke-1, 1961, h. 243 (selanjutnya disebut al-Tafsir). 
maknanya. Seperti terlihat dalam penafsiran yang dikutip di atas; dikarenakan ayat itu berbicara tentang hukum fikih, maka tafsirannya berisi konsep-¬konsep fikih dan berbagai riwayat dari ulama fikih tentang itu. Demikian pula bila sampai pada ayat yang berbicara tentang akidah, misalnya, dia tafsirkan dari sudut konsep-konsep teologis serta berbagai riwayat dari kaum teolog tentang itu seperti terlihat ketika dia menafsirkan ayat ke-73 dari al-Maidat yang berbicara tentang kekufuran orang-orang yang meyakini bahwa Allah adalah yang ketiga dari tiga oknum Tuhan vang mereka percayai. Dalam kaitan ini Ibn Katsir menafsirkannya dengan cukup memadai serta dilengkapi dengan berbagai riwayat dari para tokoh ulama salaf dan sebagainya.14 Pola serupa juga diterapkannya pada ayat-ayat seperti akhlak, tasawuf, dan sebagainya seperti tampak ketika menafsirkan ayat ke-152 dari al-Baqarat yang berbicara tentang 'zikr Allah'. Dalam menafsirkan ayat ini dinukilkannya beberapa riwayat tentang keutamaan zikir tersebut; dan relatif amat memadai.
Jadi tafsir Ibn Katsir itu memang benar-benar bercorak umum, artinya tidak didominasi oleh satu pemikiran tertentu tapi memuat berbagai konsepsi sesuai kandungan ayat. Namun, perlu dicatat bahwa, semua penafsiran Ibn Katsir itu amat tergantung pada adanya riwayat sebagaimana telah disebut. Sebagai contoh ketika sampai pada ayat tentang awal penciptaan alam, Ibn Katsir tidak banyak komentar sama sekali. Misalnya ayat ke-20 dari al-'Ankabut  
 Ayat ini berisi dua hal pokok yakni perintah untuk memikirkan bagaimana awal penciptaan alam oleh Allah; dan kelak Allah akan membangkitnya di akhirat. Tentang penciptaan alam Ibn Katsir tidak memberi komentar apa-apa dan tentang kebangkitan di akhirat hanya dikomentarinya dua kata saja yakni "hari kiyamat".15
14 Lihat Tafsir Ibn Katsir, II, h. 101.
15 Ibn Katsir, III, h. 495.




Terjadinya kondisi yang demikian adalah sebagai konsekuensi logis dari bentuk tafsir yang dia pilih yakni al-ma'tsur; di mana bila riwayat tak ada maka penafsiran pun tak dapat dilakukan sebagaimana telah disebut di muka. Inilah yang terjadi pada penciptaan alam, sekalipun ada cerita-cerita isra'iliyat tentang itu, namun Ibn Katsir tak mau menggunakannya karena dia telah mempunyai prinsip sebagaimana gurunya Ibn Taymiyah ingin membersihkan tafsir Al¬Qur'an dari khurafat dan kesesatan yang banyak disebabkan oleh kisah-kisah isra'iliyat yang pada umumnya berisi dongeng. Jadi, daripada mendongeng dalam menafsirkan ayat suci dia lebih memilih diam. Di sinilah salah satu kekuatan dan sekaligus keistimewaan tafsir Ibn Katsir ini.
Corak umum serupa itu juga terlihat dalam tafsir al-Alusi, malah cakupannya lebih luas daripada tafsir Ibn Katsir karena al-Alusi menggunakan bentuk tafsir al-ra'y yang memungkinkan dia lebih leluasa berkreasi dalam mengemukakan ide-ide briliannya dalam menafsirkan Alqur'an selama masih dalam koridor kebenaran dan didukung oleh argumen-argumen rasional yang kuat dan objektif sebagaimana tampak dalam penafsirannya yang telah dikutip di muka.
Namun ada yang berpendapat bahwa tafsir al-Alusi bercorak "shufi isyari" sehingga dikategorikan sama dengan tafsir al¬Naysaburi.16 Penilaian serupa itu boleh-boleh saja. Tapi bila diamati secara saksama penafsiran yang diberikan al-Alusi terhadap berbagai ayat Alqur'an termasuk ayat yang dikutip di sini, maka agaknya kesimpulan tersebut kurang didukung oleh fakta yang valid karena al-Alusi dalam menafsirkan Alqur'an menjelaskan makna yang dikandung ayat sesuai dengan porsinya. Bila ayat berbicara tentang akidah dia jelaskan masalah-masalah akidah yang ada di dalamnya dan menolak pendapat aliran-aliran yang dianggapnya menyimpang. Begitulah ketika dia menafsirkan ayat ke-7 dari al-Baqarah Demikian pula ketika dia menafsirkan ayat-ayat kawniyah. Dia menjelaskan pendapat-pendapat ahli astronomi, fisika, dan lain-lain yang berhubungan dengannya seperti tergambar dalam tafsirannya terhadap ayat 38, 39, dan 40 dari surat Yasin.17
16 Al-Dzahabi, Al-Tafsir, I, h. 361
17 Ibid, Juz 23, h. 11.
  
Bidang fikih juga tidak luput dari perhatiannya sehingga bila sampai pada ayat-ayat yang berbicara hukum fikih, diuraikannya dengan amat memadai seperti tampak dalam kutipan di muka; tidak hanya kandungan ayat, bahkan aspek kebahasaan pun diuraikannya dengan panjang lebar sehingga kadang-kadang, kata al-Dzahabi, terkesan dia keluar dari fungsinya sebagai seorang mufasir.18
Kecuali itu, kitab Tafsir al-Alusi ini juga sangat selektif terhadap kisah-kisah israiliyat dan cerita-cerita bohong, bahkan kadang kala, tulis al-Dzahabi, dia bukan sekadar mengritik tajam malah terkesan mengejeknya.19
Berdasarkan fakta itu, barangkali, lebih tepat tafsir al-Alusi ini digolongkan ke dalam corak umum bukan shufi isyari sebagaimana dianggap sebagian ulama. Namun, al-Dzahabi memang mengakui bahwa al-Alusi setelah menjelaskan makna lahiriah dari ayat dia juga bicara tentang makna-makna yang implisit (isyari) dari ayat itu, tapi hal itu, tambah al-Dzahabi, bukan tujuan utama melainkan sekadar pelengkap, sama halnya dengan tafsir-tafsir ulama pada umumnya; dan itu pun sifatnya kondisional, tidak selamanya begitu ujarnya.20
Dari fakta-fakta di atas, jelaslah bahwa tafsir al-Alusi ini benar¬benar bercorak umum tidak didominasi oleh satu warna pemikiran. Hal itu amat masuk akal karena al-Alusi memang ahli dalam berbagai bidang ilmu, baik ilmu-ilmu "naqliyah" maupun "'aqliyah", demikian pula dia menguasai ilmu-ilmu fikih dan ushul fikih; apalagi ayahnya . juga seorang tokoh ulama, dan dia juga belajar kepada Syaikh Khalid al-Naqsyabandi.27
Adapun Tafsir al-Jalalain karena uraiannya sangat singkat dan padat dan tidak tampak gagasan, ide-ide atau konsep-konsep yang menonjol dari mufasirnya, maka jelas sulit sekali untuk memberikan label pemikiran tertentu terhadap coraknya. Karena itu pemakaian corak umum baginya terasa sudah 
18 Al-Tafsir, I, h. 358.
19 Ibid, h. 360.
20 Ibid, h. 361.
21 Ibid, h. 362.

tepat karena memang begitulah yang dijumpai dalam tafsiran yang diberikannya dalam kitab tersebut.
Kenyataan sebagaimana diuraikan di atas dapat dijadikan indikasi yang kuat bahwa ketiga penulis atau mufasir tersebut tidak membawa misi khusus dalam penafsiran mereka, melainkan bersifat umum.
Sebelum menutup sub bahasan ini suatu hal perlu dicatat bahwa pemilihan "corak" suatu tafsir, "bentuk" dan "metode"nya, sepenuhnya tergantung pada kemauan mufasirnya. Artinya, hal itu tidak mesti sejalan dengan keahliannya. Seorang ahli hadis dan sejarah seperti Ibn Katsir tafsirnya bercorak umum bentuknya ma'tsur dan metodenya analitis; kondisi ini tidak sama dengan yang ditemukan dalam diri al-Suyuthi, dia seorang ahli hadis tapi tafsir al-Jalalain¬nya dalam bentuk al-ra'y dengan metode global, dan coraknya umum sebagaimana telah disebut. Sementara al-Alusi, memang seorang tokoh ulama yang mempunyai banyak spesialisasi dan berpikiran rasional. Jadi amat logis bila tafsirnya bercorak umum dalam bentuk al-ra'y dengan metode analitis. Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam bagan berikut:
BAGAN V
SOSOK TIGA KITAB TAFSIR
(Ibn Katsir, al-Alusi, al-Jalalain)
 






II. Corak Khusus 
Teks Ayat:
 
a. Tafsir al-Kasysyaf 22 (Teks Terlampir)
(Perempuan-perempuan terhormat) ialah perempuan merdeka [bukan budak] atau perempuan baik-baik. Menyebut mereka secara khusus adalah untuk memotivasi kaum mukminin agar memilih tempat yang terhormat bagi penyemaian bibit mereka. [bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan seksual belaka. Jika itu yang dituju, maka] menikahi budak-budak perempuan yang muslimah, [sudah cukup dan diakui] sah secara aklamasi oleh para ulama; demikian pula sah menikahi para budak perempuan yang akhlak mereka kurang baik. Adapun budak-budak perempuan ahli kitab, maka menurut Abu Hanifah diperlakukan sama dengan perempuan muslimah; Imam al¬Syafi'i tidak sependapat dengannya (Abu Hanifah) dalam hal ini; dan Ibn 'Umar tidak melihat peluang yang membolehkan nikah dengan perempuan ahli kitab berdasarkan firman Allah "dan jangan kalian nikahi perempuan-perempuan musyrik sampai mereka beriman", seraya Ibn 'Umar berucap: "Saya tidak tahu syirik yang lebih besar dari ucapan perempuan itu bahwa Tuhannya Isa".
b. Tafsir al-Thabathaba’i 23 (Teks Terlampir)
Firman Allah : ”[Halal bagimu menikahi] perempuan-perempuan baik-baik dari orang-orang mukmin dan perempuan-perempuan baik-baik dari mereka yang telah diberi al-kitab sebelum kamu ”.
c. Tafsir al-Qurthubi 24 (Teks Terlampir)
Firman Allah : ”[Halal bagimu menikahi] perempuan-perempuan baik-baik dari orang-orang mukmin dan perempuan-perempuan baik-baik dari mereka yang telah diberi al-kitab sebelum kamu ”.






dari berbagai golongan dan keyakinan yang telah memeluk Islam mereka bebas menikah dengan pria atau wanita muslim manapun
asal saja hal itu dipersiapkan dan didorong oleh motivasi kesucian dan kesalehan serta bukan untuk maksud jahat [seperti mempermainkan pasangannya (pacaran) dan sebagainya).
Apabila dibandingkan kedelapan penafsiran yang dikemukakan di atas, maka tampak kepada kita berbagai corak penafsiran yang mendominasi penafsiran mereka masing-masing sebagaimana dijelaskan dalam analisis berikut:
a. Tafsir al-Kasysyaf lebih menonjolkan pemikiran rasional teologis murni ketimbang fikih seperti dikatakannya: "Menyebut mereka 'al-muhshanat' secara khusus adalah untuk memotivasi kaum mukminin agar memilih tempat terhormat bagi penyemaian bibit mereka". Yang namanya memilih sesuatu, jelas menggunakan akal (rasio). Tapi di sini bukan akal murni, melainkan ada muatan teologisnya sehingga walaupun yang ditafsirkannya ayat-ayat tentang fikih, namun pemikiran rasional dari mufasirnya tetap kentara dan pemikiran tersebut melalui konsep-konsep teologis. Demikian pula pendapat Ibn 'Umar yang dia kutip juga menggambarkan pemahaman teologis yang amat kental sebagaimana terlihat nyata dalam tafsirannya itu "Saya tidak tahu syirik yang lebih besar dari ucapan perempunn itu bahwa Tuhnnnya Isa"
Berdasarkan kenyataan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa corak tafsir yang ditonjolkan oleh al-Zamakhsyari dalam kitabnya itu ialah pemikiran rasional teologis. Hal ini bukanlah suatu kebetulan, tapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah konsekuensi logis dari latar belakang yang mendominasi pemikirannya yakni konsep-konsep teologis Muktazilah yang terkenal sebagai kaum rasionalis Islam dan al-Zamakhsyari ialah salah seorang tokoh utamanya.28 Di samping sebagai tokoh Muktazilah, al-Zamakhsyari juga seorang tokoh (imam) Mazhab Hanafi dalam fikih, namun ternyata dalam penafsirannya terhadap ayat yang dikutip di atas dia tidak fanatik kepada Mazhab Hanafi tersebut tapi tampak secara gamblang dia bersikap netral dan tidak memihak; sehingga pendapat yang lain pun dia kemukakan, seperti dia mengutip pendapat al -Imam al-Syafi'i sebagaimana terlihat dalam kutipan tersebut. Ulama tafsir, paling tidak al-Dzahabi juga menemukan hal yang sama dalam al-Kasysysafnya al-Zamakhsyari tersebut.29
Kenetralan al-Zamakhsyari dalam penafsiran ayat-ayat tentang fikih tersebut, meskipun dia seorang tokoh Mazhab Hanafi membuktikan bahwa dia memiliki pengetahuan yang amat luas di bidang fikih dan sekaligus agaknya dia ingin menunjukkan kepada umat bahwa permasalahan fikih adalah masalah-masalah furu'iyah yang tidak substansial, dan umat bebas menganut mazhab apa saja yang mereka maui. Berbeda halnya dengan permasalahan akidah (teologi). Dalam bidang ini umat harus memegangi satu akidah yang mereka yakini benar. Prinsip inilah barangkali yang mendasari al-Zamakhsyari dalam penafsiran ayat-ayat tentang akidah, dia selalu memihak kepada Muktazilah, sehingga para ulama menjuluki kitab tafsir al¬Kasysyaf sebagai kitab tafsirnya kaum Muktazilah karena di dalamnya memang menonjol sekali dominasi konsep-konsep teologis Muktazilah.3o
Berdasarkan apa yang ditemukan dalam kitab tafsir al¬Kasysyaf itu sebagaimana telah diungkapkan di muka jelas bagi kita bahwa dari segi bentuk tafsir, al-Kasysyaf menggunakan al¬ra'y (pemikiran), sementara dari sudut metode, ia menggunakan analitis (tahlili) dengan corak falsafi (pemikiran rasional). Jadi sosok tafsirnya menjadi al-ra'y, tahlili, dan falsafi.
b. Tafsir Thabathaba'i meskipun mirip dengan al-Kasysyaf, yakni sama-sama didominasi oleh pemikiran rasional teologis, tapi fikihnya tampak cukup menonjol seperti ditulisnya: "Kami menganugerahkan kepadamu dispensasi dan kemudahan derTgan mencabut keharaman menjalin perkaivinan antara pria muslirrt dengan perempuan baik-baik dari ahli kitab karena mereka lebih dekat kepada¬mu dari semua penganut agama lainnya sebab mereka menerima kitab suci, mengakui Tuhan dan risalah kenabian; hal ini bertolak belakang dengan sikap kaum musyrikin dan penyembah berhala yang selalu mengingkari kenabian".
Jelas sekali dalam ungkapan itu pemikiran teologisnya dikaitkan langsung dengan persoalan nikah. Artinya, sekalipun dia membahas persoalan nikah, namun konsep teologisnya tetap dominan.
Selanjutnya dalam bidang fikih, Thabathaba'i tampak dengan jelas memihak kepada konsep syi'ah, bukan seperti al¬Zamakhsyari yang bersikap netral. Keta'assuban (fanatisme) Thabathaba'i terhadap fikih Syi'ah tersebut dapat dilacak dalam penafsirannya di atas sebagai dikatakannya: "Jadi kehalalan hubungan itu ialah atas dasar perkawinan yang sah dengan membayar mahar yang cukup bukan 'kumpul kebo' dan tak ada persyaratan lain, misalnya, durasi perkawinan; apakah untuk selamanya atau hanya temporer [nikah mut'ah]...Hal ini telah dibahas di dalam jilid IV dari kitab ini; dan telah pula dijelaskan bahwa "mut'ah" (perkawinan sementara) adalah nikah sungguhan [bukan main-main] sama dengan pernikahan biasa".
Dikatakan penafsiran ini memihak kepada fikih syi'ah karena syi'ahlah sampai sekarang yang masih membolehkan nikah mut'ah, sementara mazhab-mazhab lain seperti Sunni dan lain-lain telah mengharamkannya berdasarkan penegasan Rasul Allah."
Berdasarkan kenyataan itu jelas bagi kita bahwa tafsir al-Thabathaba'i ini bercorak rasional teologis yang cenderung kepada pemikiran dan konsep-konsep Syi'ah. Karena itu agaknya tidak salah bila disimpulkan bahwa kitab al-Thabathaba'i ini menyuarakan ajaran-ajaran Syi'ah terutama Syi'ah Itsna 'Asyariyah yang berkembang di Iran. Hal itu bukanlah suatu yang aneh karena al-Thabathaba'i memang asli Iran dan salah seorang tokoh Syi'ah. Jadi kalau al-Zamakhsyari mewakili pemikiran Muktazilah maka al-Thabathabai mewakili pemikiran Syi'ah, khususnya Syi'ah Itsna 'Asyariyah. (Syi'ah Duabelas).32
"Dulu Nabi memang pernah memberi dispensasi melakukan pernikahan mut'ah kepada para sahabatnya selama tiga hari, kemudian Nabi melarangnya untuk selamanya" Hadis-hadis yang melarang nikah Mut'ah ini dinilai ulama cukup tepercaya (selanjutnya lihat al-Shan'ani, Suhul al-Salam, ed. M. 'Abd al¬Qadir'Atha, Bairut, Dar al-Fikr, III, cet. ke-1, 1991, hh. 243-245).
" Syi'ah Duabelas ialah salah satu sekte Syi"ah yang amat populer. Mereka mempercayai duabelas imam / pemimpin yaitu 'Ali bin Abi Thalib, Hasan bin 'Ali bin Abf Thalib w.49 H) Husain bin 'Ali bin Aba Thalib (w. 61 H.), 'Ali bin Husein (w. 95 H.) yang bergelar Imam al-Sajjad (yang banyak bersujud) dan Zainal 'Abidin (hiasan orang-orang yang beribadah [kepada Tuhan]), Muhammad bin 'Ali (w. 113 h.) yang bergelar al-Baqir (yang membedah) Ja'far bin Muhammad (w.146 H) yang biasa disebut Ja'far as-Sadiq (Ja'far yang benar), Musa bin Ja'far (w. 183 H) yang biasa dipanggil Musa al-Kazim (yang diam), 'Ali bin Musa (w. 203 H) yang biasa disebut dengan 'Ali ar-Rida (yang diridai) Muhammad bin 'Ali (w221 H) yang biasa dipanggil dengan Muhammad al¬Jawwad (yang pemurah), 'Ali bin Muhammad (w. 254 H) yang biasa dipanggil an-Naqi (yang bersih) atau al-Hadi (yang menunjuki), Hasan bin'Ali (w. 261 H) yang biasa disebut al-'Askari (militer), dan Muhammad bin Ali (256 - menghilang tahun 261 H), yang biasa disebut al-Mahdi/al-Muntazhar (yang ditunggu). Syi'ah Itsna 'Asyariyah memandang bahwa yang berhak menjadi imam setelah Ja'far as-Sadiq ialah anaknya Musa al-Kazim (w. 183 H) yang mereka pandang sebagai imam ketujuh. Dari Musa al-Kazim seterusnya sampai Muhammad al¬Muntazhar (bersembunyi mulai 261 H/875 M) terdapat enam orang imam yang menjalankan wasiat sebagai pimpinan Syi'ah. Dengan demikian imam mereka seluruhnya berjumlah duabelas orang, sehingga populer dengan sebutan Syi'ah
Duabelas (Isna'Asyariyah)

Dengan mengamati penafsiran yang dikemukakan oleh al-Thabathaba'i di atas, maka jelas bagi kita bahwa tafsirnya itu menggunakan bentuk pemikiran rasional (al-ra'y) melalui metode analitis (tahlili) dan mengacu pada corak falsafi teologis Syi'isme. Di sinilah terletak bedanya dari al-Zamahsyari yang cenderung kepada Muktazilah; sementara al-Thabathaba'i cenderung kepada Syi'ah.
c. Tafsir al-Qurthubi
Corak tafsir al-Qurthubi ini sebagaimana tampak dalam kutipan di atas berbeda dari dua tafsir sebelumnva. Kalau dua kitab tafsir terdahulu itu lebih dominan warna rasional teologisnya, maka tafsir al-Qurthubi ini lebih menonjol [pemikiran] fikihnya. Untuk mengawali tafsirannya al-Qurthubi sengaja mencari legitimasi kepada pemahaman lughawi. Dari makna lughawi kemudian dia menuju makna teknis (syar'i), bagaimana pengamalannya oleh Nabi dan para sahabat beliau. Pola semacam ini jelas cara-cara yang lazim diterapkan oleh para ahli fikih guna menemukan istinbath hukum yang legitimate dan dapat diterima
Syi'ah Duabelas memegang fikih mazhab Ja'fari atau Mazhab Imamiah. Mazhab tersebut didasarkan pada Alqur'an, hadis, dan akal. Mereka tidak menerima kias, karena menurut mereka kias bersumber dari khayal. Mazhab Ja'fari ini dibangun oleh Abu Ja'far Muhammad bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al¬A'raj al-Qummi (w. 290 H).
Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa pandangan-pandangan fikih Mazhab Ja'fari ini dekat dengan Mazhab Syadi'i, perbedaannya hanya terdapat pada sekitar tujuhbelas masalah, di antaranya ialah tentang kebolehan nikah Muth'ah (nikah yang mempunyai jangka waktu tertentu), tidak boleh memakan sembelihan ahlulkitab, tidak boleh mengawini wanita ahlulkitab, menjatuhkan thalak harus ada saksi. tidak disyari'atkan menyapu sepatu ketika berwuduk, tidak perlu membasuh kaki dalam berwudu', mereka menambah kalimat "Asyhadu anna 'Aliyan Waliyullah" (Saya bersaksi bahwa '.Ali adalah wali Allah) dalam syahadat, dan lain-lain. Dewasa ini Syi'ah Isna 'Asyariyah dianut oleh penduduk Iran, sebagian penduduk Irak, dan Libanon. ('Abd 'Aziz Dehlan
(ed.) Ensiklopedi Hukum Islam Jakarta, Ichtiar Baru, Van Hoeve V, cet. Ke-1, 1996, h. 1708.

oleh semua pihak; kalau tidak secara aklamasi (100%), paling tidak keputusan hukum yang dihasilkannya diterima oleh mayoritas umat karena argumen yang dijadikan alasan cukup rasional dan didukung oleh pemahaman lughawi yang jelas dan valid.
Menonjolnya corak fikih dalam tafsir al-Qurthubi itu bukanlah suatu yang aneh karena tafsirnya memang dari awal berjudul al-jami' li Ahkam al-Qur'an (Menghimpun Hukum (Fikih) dari ayat¬ayat Alqur'an). Namun konsep-konsep fikih yang ditonjolkannya terkesan netral, tidak fanatik kepada mazhab Maliki yang dianutnya 33 lebih-lebih lagi kepada mazhab-mazhab lain. Tapi dia tampak selalu merujuk kepada pemahaman bahasa dan pengamalan Nabi dan sahabat terhadap ayat-ayat Alqur'an yang berkaitan dengan kasus yang sedang dia hadapi. Karena itulah ketika dia menafsirkan ayat di atas, dia juga mengaitkan pemahamannya dengan ayat-ayat lain yang berbicara seputar kasus dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai latar belakang turunnya ayat itu seperti dia mengutip kasus Hindun yang menanyakan kepada Rasul Allah tentang batasan konotasi lafal al-ima' (budak perempuan), dan sebagainya.
Berdasarkan kondisi yang demikian kita, dapat berkata bahwa penafsiran al-Qurthubi cukup objektif dan didukung oleh argumen yang kuat serta fakta sejarah yang valid. Agaknya di sinilah terletak kekuatan hujjah (argumen) tafsir al-Qurthubi ini terutama dalam bidang fikih.
Jika diamati sekali lagi penafsiran yang dikemukakan al¬Qurthubi dalam kitabnya itu, maka tampak dengan jelas bentuk tafsir yang disuguhkannya berupa pemikiran (al-ra'y) yang terfokus pada corak fikih, dengan menggunakan metode analitis (tahlili). Dengan begitu agaknya tidak salah bila disebut kitab tafsirnya itu sebagai (fikih oriented).
d. al Jashshsash (Ahkam al-Qur'an)
Walaupun sama-sama bercorak fikih bila dibandingkan dengan tafsir al-Qurthubi, namun dalam tafsir al-Jashshsash pemikiran rasionalnya tampak lebih menonjol. Perhatikanlah sekali lagi dalam uraiannya itu, al-Jashshsash banyak sekali mengutip pendapat para ahli fikih mulai dari kalangan sahabat, tabi'in, terus ke generasi sesudah mereka. Pemikiran-pemikiran rasional dari mereka itu dikemukakannya. Tapi berbeda dari al¬Zamakhsyari dan al-Thabathaba'i sebagaimana telah diungkapkan di muka, kedua mufasir ini lebih menonjolkan pemikiran rasional teologis sementara al-Jashshash menonjolkan rasional fikih murni tidak terkesan kaitannya dengan akidah. Apabila dibandingkan dengan al-Qurthubi, maka kita mendapat gambaran bahwa dalam tafsir al-Jashshash tidak terlihat keinginan penulisnya untuk membawa pembaca ke suatu titik kesimpulan yang harus dianut, melainkan dia membiarkan berbagai pendapat yang dikemukakannya itu bergulir begitu saja tanpa ada penekanan atau tarjih dari penulis. Sebaliknya, dalam tafsir al-Qurthubi terbayang kesan ingin membawa pembaca ke suatu pendapat yang harus diikuti. Perbedaan semacam ini dapat diamati bila diperhatikan pola penafsiran yang mereka terapkan. Al¬Qurthubi, misalnya, dia awali penafsirannya dengan membahas kosakata, terus permasalahan dan pengamalan Nabi saw, para sahabat, tabi'in dan seterusnya. Jadi seakan-akan dia ingin mengatakan inilah yang diamalkan para ulama terdahulu yang dapat diikuti. Sedangkan al-Jashshash tidak mengawali dengan pola semacam itu melainkan langsung mengemukakan berbagai pandangan dalam menyikapi suatu ayat dan itu pun tanpa dia simpulkan.
Terjadinya perbedaan yang demikian agaknya bermula dari pola pikir mereka anut. Kalau al-Qurthuhi penganut Mazhab Maliki, maka cakrawala berpikirnya selalu berkisar seputar cara-cara yang diterapkan dalam Mazhab tersebut, yakni tidak terlalu bebas dan kurang memberikan kebebasan kepada para penganutnya untuk berpikir terlalu liberal. Adapun al¬Jashsash ingin membuka wacana seluas-luasnya, sehingga tidak perlu digiring penganutnya ke suatu titik pemikiran, tapi terserah kepada mereka masing-masing menentukan pilihan. Agaknya karena pola semacam itu, maka al-Dzahabi menilai kitab tafsirnya (al-Jashsash) lebih mirip dengan fikih perbandingan daripada tafsir." Hal ini terjadi kemungkinan besar sebagai konsekuensi logis dari mazhab yang dianutnya yaitu Mazhab Hanafi35 yang lebih menonjolkan pemikiran rasional ketimbang riwayat; sementara Mazhab Maliki: sebaliknya mengutamakan riwayat dari pada pemikiran rasional. Terjadinya dua pola pikir yang amat berbeda ini tidak dapat dilepaskan dari situasi dan kondisi yang melatarbelakangi lahir dan berkembangnya kedua mazhab ini, yakni Mazhab Maliki lahir, tumbuh dan berkembang di Madinah yang sangat dekat dengan domisili Nabi sebagai sumber ajaran di mana para sahabat dan tabi'in sebagai perawi hadis berkumpul; sedangkan Mazhab Hanafi lahir, tumbuh dan berkembang di Irak (Bagdad) jauh sekali dari domisili dan tempat berkumpulnya para sahabat sehingga riwayat yang sampai ke wilayah ini sedikit sekali bila dibandingkan dengan yang ada di Madinah. Lagi pula wilayah Bagdad dekat dengan wilayah Persi (Iran) yang telah terkenal sejak dulu memiliki peradaban yang tinggi dan tradisi berpikir falsafi yang cukup mengagumkan dunia. Tradisi ini sampai kedatangan Islam masih berlanjut, bahkan sampai sekarang, Imam al-Ghazali sebagai contoh, seorang pemikir, dan sekaligus sufi besar adalah berdarah Persi demikian pula Ibn Miskawaih dan al-Farabi dan banyak lagi tokoh-tokoh pemikir dari wilayah Persi (Iran) sampai sekarang semisal Ali Syariati, dan lain-lain.
Berdasarkan kenyataan historis sebagaimana diungkapkan itu maka bukan suatu yang asing jika al-Jashahash sebagai penganut Mazhab Hanafi, juga menerapkan pemikiran rasional dalam fikih seperti tampak dalam tafsirannya itu, meskipun secara implisit, suatu keinginan untuk mengembangkan suatu pola pikir rasional dalam pelaksanaan hukum-hukum fikih tanpa memaksakan suatu pendapat terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Namun rasionalitas pemikiran yang dikembangkannya menurut penilaian ulama tafsir semisal al-Dzahabi tidak dapat membebaskannya dari sikap amat fanatik terhadap mazhab yang dianutnya, bahkan kadang-kadang dia bersikap kasar dan tidak sopan terhadap siapa saja yang tidak sepaham dengannya, bahkan terhadap seorang imam mazhab sekaliber al-Imam al¬Syafi'i pun dia tidak sungkan memberikan kritik yang sinis karena pendapat al-Syafi'i itu tidak sejalan dengannya; sehingga al¬Dzahabi mengomentari kritiknya dengan mengatakan: "Dia mengeritik al-Syafl'i dan lainnya yang tidak sepaham dengannya dengan kata-kata kasar yang tidak pantas diucapkan oleh seorang [tokoh besar semisal] al-Jashshash terhadap tokoh besar selevel al-Imam al-Syafi'i dan lain-lain".36 Tapi khusus dalam ayat di atas tidak ada kritik yang diberikannya apalagi menghina atau meremehkan orang-orang yang tidak sependapat dengannya.
Dari paparan al-Jashshash dalam kitab tafsirnya itu kita menemukan bahwa bentuk rasional fiqhiyah terasa amat menonjol dalam penafsirannya itu. Pemikiran- (konsep-konsep) fikih yang dia kemukakan dikemas dalam metode tahlili (analitis) dengan corak fikih sebagaimana telah disebut di muka.
e. Tafsir al-Mirghani
Sepintas lalu tafsiran yang diberikan oleh al-Mirghani terhadap ayat yang dikutip di atas tampak biasa-biasa saja, tidak terkesan dia membawa corak khusus dalam penafsirannya. Kesan semacam itu memang tidak dapat dimungkiri karena kita hanya melihat satu penggal saja dari ayat yang ditafsirkannya, apalagi dia menggunakan metode ijmali sehingga uraiannya sangat terbatas. Oleh karena itu, untuk mengetahui corak tafsir yang diterapkannya maka perlu dibandingkan tafsirannya di sini dengan tafsirannya terhadap ayat lain; dengan begitu akan dapat ditemukan apa corak tafsir yang mendominasi kitabnya.
Apabila diamati penafsiran al-Mirghani terhadap ayat lain khususnya, ayat-ayat yang berkenaan dengan kajian ibadah, akhlak atau tasawuf, maka kita akan menemukan uraiannya cukup panjang dan terkesan lebih memadai. Sebagai contoh perhatikanlah tafsirannya terhadap ayat berikut:
 
 

Artinya:
(Dan usaplah kepalamu, dan [basuh] kakimu) dibaca [arjulakum] dengnn harakat nashab [berbaris di atas] (hingga dua matakaki) keduanya itu masuk bagian anggota yang wajib dibasuh; dan wuduk yang wajib itu adalah sekali pada setiap anggota wuduk; sedangkan kesempurnaan wuduk itu ialah dengan melakukannya dengan cara-cara yang disyari'atkan sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa 'Utsman bin Affan r.a. minta dibawakan air dalam bejana lalu dituangkannya air itu ke atas dua telapak tangannya sebanyak tiga kali untuk membasuhnya. Lalu ia mengambil air dari dalam bejana untuk berkumur-kumur dan mengeluarkannya kembali, seterusnya ia membasuh mukanya tiga kali dan kedua tangannya hingga dua matasiku juga tiga kali. Setelah itu ia mengusap kepalanya dan dilanjutkan dengan membasuh kaki hingga dua matakaki. Selesai wuduk itu 'Utsman berkata, saya lihat Rasulullah saw berwuduk seperti yang barusan saya lakukan, lain Rasul bersabda: "Barang siapa berwuduk seperti yang saya lakukan kemudian dia melakukan shalat dua rakaat dan dia tidak-berkata-kata dalam hati (selain zikrullah) niscaya Allah mengampuni dosanya yang Ialu. Dalam riwayat Abu Dawud: "adalah Rasulullah bila berwuduk mengambil air dengan telapak tangannya lalu dia masukkan di bawah dagunya terus membilas-bilas jenggotnya dengan air itu seraya Rasul bersabda"
 begitulnh begitulah memerintahkan. Ini adalah cedukan ketiga dalam rangkaian mencuci muka" Diriwayatkan pula dari Abu Dawud dan lainnya: "Adalah Nabi berwuduk, dia mengambil air dengan telapak tangannya lalu dituangkannya ke kemaluannya."
Jelas terlihat dalam tafsiran al-Mirghani di atas sebuah penafsiran yang cukup memadai, lihatlah begitu dia sampai pula pada ayat-ayat yang berkaitan dengan kesempurnaan ibadah atau akhlak, al-Mirghani memberikan ulasan yang cukup; tapi jika kurang berkaitan dengan masalah akhlak dan ibadah boleh disebut dia tidak memberikan apa-apa kecuali sedikit penjelasan, makna kosakata atau qira'at (bacaan) sebagaimana tampak dalam tafsirannya terhadap ayat yang dijadikan contoh dalam tulisan ini sebagaimana telah disebut di atas.
Berdasarkan kenyataan itu maka dapat disimpulkan bahwa tafsir al-Mirghani ini bercorak sufi. Corak sufisme yang ditonjolkannya itu makin terasa kentara bila dibandingkan dengan tafsir al-Kasysyaf dan al-Thabathaba'i yang cenderung kepada rasional teologis; demikian pula jika dibandingkan dengan tafsir al¬Qurthubi dan al-Jashshash yang lebih menonjolkan konsep¬konsep fikih sebagaimana telah diuraikan di muka. Dipilihnya corak tersebut bukanlah suatu yang aneh atau kebetulan tapi merupakan representasi dari pola pikir dan jatidiri pengarangnya sendiri yang memang seorang tokoh sufi dan sekaligus pemimpin tarikat bahkan dia mendirikan tarekat baru dengan nama "Tarekat Khatmiyah" sebagai gabungan dari lima tarekat yang dikuasainya yaitu Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syadziliyah, Junaidiyah dan Mirghaniyah.38 Namun dari fakta yang dijumpai dalam kitab tafsirnya tampak dengan jelas al-Mirghani dalam penafsirannya itu mengembangkan corak tasawuf 'amali (praktis), bukan tasawuf nazhari (falsafi) sebagaimana di-kembangkan oleh Ibn al-'Arabi dalam kitab tafsirnya al-Futuhat al-Makkiyyat.
Setelah mengamati model penafsiran dalam kitab tafsir al¬Mirghani itu, maka jelas bagi kita sosok tafsir tersebut dan segi bentuknya, al-Mirghani menggunakan al-ra'y, dengan metode ijmali dan corak sufi.

f. Tafsir al-Manar
Penilaian para ulama tafsir bahwa Ridha dalam kitab tafsir¬nya itu menggunakan corak adabi ijtima'i ternyata dapat diterima karena tafsirannya yang dikutip di atas juga menunjukkan hal itu. Coba amati sekali lagi, uraiannya cukup padat tidak bertele¬tele dalam bahasa yang relatif mudah dipahami dan menyentuh kehidupan riil di tengah masyarakat. Kecuali itu, argumennya cukup kuat dan jauh dari pemikiran-pemikiran israiliyat. Pola serupa ini dapat ditemukan dalam semua penafsirannya dalam al-Manar itu.
Jika diamati secara lebih saksama lagi dari sudut tiga komponen internal ilmu tafsir, maka tampak kepada kita bahwa kitab tafsir al-Manar ini disusun dalam bentuk al-ra'y (pemikiran rasional) dengan menggunakan metode tahlili (analitis). Hal ini terlihat pada keseluruhan uraiannya mulai dari jilid pertama sampai jilid terakhir sekalipun tafsir ini belum menafsirkan semua ayat Alqur'an sampai tamat dari al-Fatihah sampai dengan al¬Nas. Itu artinya tafsir dengan metode tahili tersebut tidak harus menafsirkan keseluruhan ayat Alqur'an sampai tamat, tapi yang diperlukan ialah polanya, yakni menguraikan ayat Alqur'an yang sedang dibahas secara tuntas dari berbagai aspeknya seperti kosa kata yang penting, asbab al-nuzul kalau ada, munasabat dan dilengkapi dengan argumen, atau fakta sejarah dan sebagainya sebagai dukungan terhadap tafsirannya tersebut. Uraiannya yang lugas dan logis serta susunan kata-kata yang indah membuat pembaca tak jemu membacanya, inilah salah satu ciri utama tafsir dengan corak adabi ijtima'i.
g. Tafsir al-Maraghi
Tafsir al-Maraghi tampak tidak jauh bedanya dari al-Manar dalam ketiga komponen internal penafsiran: bentuk, metode dan coraknya, yakni sama-sama berbentuk al-ra'y, dengan metode analitis dan corak adabi ijtima'i Namun uraiannya tidak seluas al-Manar, sehingga wawasan yang dikemukakannya tidak seluas yang dikemukakan oleh al-Manar. Dapat dibayangkan tafsir al-Maraghi hanya sepuluh jilid mulai dari surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas, yakni tamat 30 juz Alqur'an, sementara al¬Manar juga sepuluh jilid tapi baru sampai surat al-Taubah, yakni sekitar sepuluh juz; artinya tafsir al-Manar baru memuat sepertiga Alqur'an sudah sama tebalnya dengan al-Maraghi yang telah menuntaskan tafsiran semua ayat Alqur'an. Jadi boleh disebut keluasan bahasan tafsir al-Maraghi ini sepertiga dari tafsir al¬Manar. Oleh karenanya untuk para pemula tafsir al-Maraghi lebih tepat digunakan ketimbang al-Manar.
h. Tafsir A. Yusuf Ali
Yusuf Ali dalam tafsirnya sebagaimana dikutip di atas terasa tidak jauh berbeda dari pola pikir atau corak tafsir yang dianutnya dengan apa yang diterapkan oleh Ridha yakni sama-sama bercorak adabi ijtima'i, meskipun bahasa yang digunakan berbeda, yakni Yusuf Ali menggunakan bahasa Inggris, sementara Ridha menggunakan bahasa Arab.
Hal ini akan tampak semakin jelas corak tafsir Yusuf Ali bagi mereka yang mau mengamatinya dengan jeli. Perhatikanlah tafsirnya yang dikutip itu sekali lagi akan terlihat nyata, betapa indah bahasanya dalam mengungkapkan hal-hal yang aktual di tengah masyarakat. Dengan demikian, tidaklah salah bila penafsirannya dikelompokkan ke dalam kategori corak tafsir adabi ijtima'i bersama Ridha dan al-Maraghi dan lain-lain. Selain corak yang sama, bentuk dan metode yang digunakannya pun tidak jauh berbeda yakni al-ra'y dan tahlili. Cuma tafsiran Yusuf tidak seluas uraian al-Maraghi, apalagi bila dibandingkan dengan Ridha sebab Yusuf hanya memberi tafsiran pada catatan kaki, jadi kesannya sekadar komentar, tidak tafsir dalam pengertian yang lebih spesifik. Jadi kalau hanya melihat batang tubuh kitabnya itu, maka tampak tafsirnya menggunakan metode ijmali, tapi bila diamati penjelasan catatan kaki itu boleh disebut tafsirnya menggunakan tahlili walaupun dalam bentuk yang amat sederhana.
Untuk lebih jelas sosok kedelapan kitab tafsir itu dapat dilihat dalam bagan berikut:














BAGAN VI
SOSOK DELAPAN KITAB DENGAN CORAK KHUSUS
 
III. CORAK KOMBINASI
Kalau tafsir dengan corak khusus hanya memuat satu corak yang dominan sebagaimana tampak dalam delapan kitab tafsir yang dinukilkan di atas; dan corak umum sebagaimana telah dijelaskan di muka mengandung banyak corak pemikiran, paling tidak tiga jenis atau lebih, maka corak kombinasi hanya terdiri atas dua jenis pemikiran yang dominan.
Kitab tafsir yang memuat dua corak pemikiran sekaligus, jarang ditemukan, termasuk kitab-kitab tafsir dari Timur Tengah, baik yang klasik maupun yang modern. Di Indonesia penulis hanya menemu¬kan satu buah yaitu Tafsir al-Azhar karangan Prof. Hamka.
Berdasarkan kenyataan itu maka hanya satu kitab ini yang dapat ditampilkan sebagai contoh:
Teks Ayat:
 
Terjemahan:
"(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka".
Tafsirannya:
Sambungan ini bukan lagi soal makanan, melainkan soal perkawinan. Di sini diterangkan bahwa kamu orang Mu'min halal kawin dengan perempuan yang Muminat dan halal pula kawin dengan perempuan Ahli Kitab. Asal telah selesai dibayar maharnya. Dengan demikian, teranglah bahwa seorang Mu'min, selain boleh mengawini perempuan sesama Islam, kalau ada jodoh dan nasib boleh pula mengawini perempuan Ahli Kitab; Yahudi dan Nasrani. Artinya, dengan tidak usah dia masuk Islam terlebih dahulu; sebab dalam hal agama tidak ada paksaan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 256 dahulu.
Dapatlah kita memahamkan sedalam-dalamnya betapa besar keluasan paham atau jiwa tasamuh atau toleransi yang terdapat dalam kedua kebolehan ini, yaitu boleh makan sembelihan mereka dan boleh mengawini perempuan mereka. Ini adalah kebolehan yang diberikan kepada orang yang telah diseru pada permulaan pembukaan surat di ayat 1 dan 2, yaitu "Wahai orang¬orang yang beriman" Orang yang beriman niscaya telah ada sinar tauhid dalam dirinya, sekiranya dia ada seorang yang baik kalau bertetangga walaupun tetangganya lain agama, dan tidak ditakuti bahwa dia akan goyah dari agamanya karena berlainan agama dengan isterinya. Dia akan tetap menjadi suami yang memimpin dalam rumah tangganya. Tentu dia akan memberikan contoh yang baik dalam kesalihan, ketaatan kepada Tuhan dan ibadat serta silaturrahmi. Sebagai suami tentu akan menjadi teladan yang baik bagi isterinya. Dan tentu dia akan berbaik¬baik dengan seluruh ipar besannya yang berlainan agama, ziarah menziarahi, antar mengantarkan makanan. Tetapi dapat pulalah kita mengambil paham dari ayat ini bahwa terhadap laki-laki Islam yang lemah iman, keizinan ini tidak diberikan. Karena bagi yang lemah iman itu, "tukang pancing dilarikan ikan". Karena banyak kita lihat ketika negeri kita masih dijajah Belanda yang berteguh dalam agama mereka, ada orang Islam tertarik nikah dengan perempuan Kristen, berakibat kucar-kacir agamanya, kacau-balau kebangsaannya dan sengsara di akhir hidupnya. Hal ini sampai menjadi bahan roman yang indah dari salah seorang pahlawan kemerdekaan dan Pujangga kita Abdul Muis dengan bukunya Salah Asuhan.
Dalam ayat ini bertema Muhshanat, yang kita artikan saja perempuan-perempuan merdeka baik muhshanat mu'minat orang Islam, atau muhshanat Ahlu Kitab. Dahulu telah pernah kita artikan kata muhshanat yaitu perempuan yang terbenteng artinya perempuan merdeka, perempuan baik-baik dan terhormat, bukan pezina dan budak-budak. Maka derajat mereka yang Mu'minat dan Ahlu Kitab, sebagai isteri laki-laki Islam yang beriman adalah disamakan oleh ayat. Ini dikuatkan benar-benar oleh sambungan ayat. "Dalam keadaan bernikah, bukan berzina dan bukan mengambil piaraan". Pada awalnya diingatkan tentang membayar mahar terlebih dahulu dan ditekankan lagi dengan menyebut nikah, ditegaskanlah pendirian rumahtangga yang suci bersih, baik terhadap perempuan baik-baik sesama Islam atau perempuan baik-baik Ahlu Kitab. Itulah sebabnya maka dalam satu hadis yang shahih Rasulullah mengatakan, hendaklah nikah itu diperlihatkan, diterangkan sehingga diketahui orang banyak, bahkan dianjurkan memukulkan Duff, artinya genderang, tambur atau dirayakan asal jangan maksiat. Bukan berzina dan bukan memelihara perempuan di luar nikah, gendak atau gundik, atau cara di Deli di zaman kemegahan kaum kapitalis tembakau dahulu.39
Prof Hamka sosok ulama sekaligus pujangga yang sampai sekarang belum ada gantinya. Kepiawaiannya dalam bertutur kata mempunyai gaya bahasa sendiri dan menduduki tempat istimewa di hati umat, khususnya para pengagumnya. Itu salah satu gaya tarik yang sulit ditiru orang lain; dan agaknya di situlah kekuatan tafsir beliau itu sehingga telah hampir setengah abad peminat tafsirnya masih dominan.
Sebagai seorang pujangga sangat masuk akal, bila tulisannya enak dibaca dan menyentuh perasaan. Cobalah ulangi membaca tafsirnya yang telah dikutip di atas, niscaya pembaca akan terpesona oleh gaya bahasanya yang amat indah sehingga kita tidak jemu apalagi bosan membacanya. Dengan bahasa yang indah dia mengungkapkan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat, berikut fakta yang valid serta didukung dengan argumen yang kuat; baik berasal dari Alqur'an dan hadis, maupun berasal dari pemikiran rasional; yang objektif. Semua itu dapat dijumpai dalam tafsir beliau. Pola serupa ini tak jauh berbeda dari apa yang diterapkan oleh Ridha, al-Maraghi dan lain-lain sebagaimana telah dijelaskan di atas. Oleh karena itu, tidak salah bila disimpulkan bahwa tafsir Hamka ini mengandung corak adabi ijtima'i.
Selanjutnya, bila ditukikkan pandangan semakin mendalam untuk menyelami alur pikir Hamka tersebut, maka akan tampak kepada kita bahwa Hamka dalam tafsirannya itu ingin selalu menyadarkan umat, bahwa hidup mereka di dunia ini hanya temporer dan menuju ke kampung abadi di akhirat kelak. Atau dengan perkataan lain, Hamka tidak ingin umat terlena oleh kehidupan duniawi yang glamor ini, lalu lupa terhadap akhirat. Karena itu corak sufinya tampak cukup dominan dalam tafsir beliau itu. Namun seperti halnya al-Mirghani yang menerapkan pola pikir tasawuf amali (praktis) dalam tafsirnya, maka Hamka juga cenderung kepada corak sufi amali tersebut meskipun tidak dapat disimpulkan bahwa Hamka mengikuti (taqlid) kepada al¬Mirghani sebab al-Mirghani seorang tokoh tarekat, sedangkan Hamka lebih menonjol dalam bidang susastra. Kecuali itu kitab¬kitab al-Mirghani sangat langka di Indonesia dan boleh disebut nama al-Mirghani dalam khazanah intelektual muslim di Indonesia tidak dikenal sejak dulu sampai sekarang, baik di kalangan ulama "Kaum Tua" lebih-lebih lagi di kalangan ulama "Kaum Muda",40 yang mana Hamka termasuk golongan yang kedua ini, apalagi beliau salah seorang tokoh Muhammadiyah yang di kala itu sangat anti terhadap amalan-amalan kaum tarekat (Kaum Tua). Jika demikian halnya, kesamaan pandangan mereka dalam menerapkan tasawuf amali pada tafsir Alqur'an boleh jadi secara kebetulan belaka.
Berdasarkan kenyataan itu maka kitab tafsir al-Azhar karangan Hamka tersebut, mengandung corak kombinasi yakni menggabungkan corak adabi ijtima'i dengan sufi. Kedua corak pemikiran tafsir tersebut sama-sama dominan dalam kitabnya itu sebagaimana terbukti dalam kutipan di atas. Pola pikir atau corak kombinasi semacam ini baru ditemukan dalam kitab Hamka ini. Kecuali itu, kitab tafsir ini agaknya tidak salah bila dikatakan satu-satunya tafsir yang lebih membumi di bumi Indonesia daripada tafsir-tafsir yang lain yang banyak dikarang
oleh bangsa kita. Hal itu dapat dibuktikan ketika kita membaca tafsir ini maka pengarangnya akan menyuguhkan kepada kita contoh-contoh dan bahkan sya'ir-sya'ir yang ada di Indonesia. Dengan demikian, terasa sekali, Alqur'an itu menyatu dengan budaya dan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Minang dan betul-betul hidup di tengah-tengah mereka, sehingga Alqur'an bukan kepunyaan orang Arab saja tapi juga milik bangsa Indonesia. Sosok kitab tafsir Hamka ini dapat dilihat dalam bagan berikut:
BAGAN VII
SOSOK TAFSIR AL-AZHAR
 





LAMPIRAN 11
TEKS-TEKS PENAFSIRAN
I. CORAK UMUM
a. Tafsir Ibn Katsir
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 



H. Tafsir A. Yusuf Ali Translation:
"... (Lawful unto you in marriage) Are (not only) chaste women Who are believers, but chaste women among the People of the Book Revealed before your time When ye give them Their doe dowers..."
Commentary:
Islam is not exclusive. Social intercourse, including inter¬marriage, is permitted with the People of the Book. A Muslim man may marry a woman from their ranks on the same terms as he would marry a Muslim woman, i.e., he must give her an eco¬nomic and moral status, and must not be actuated merely by motives of lust or physical desire. A muslim woman may not marry a non-muslim man because her muslim status would af¬fected: the wife ordinarily takes the nationality and status given by her husband's law. A non-Muslim woman marrying a Mus¬lim husband' would be expected eventually to accept Islam. Any man or woman, of any race or faith may, on accepting Islam, freely marry any Muslim woman or man, provided it be from motives of purity and chastity and not of lewdness.